Sebuah Pembuktian
Sudah dua tahun pandemi COVID-19 terjadi di Indonesia. Lockdown sudah sering dilakukan, jalanan sepi termasuk jalan raya, jadi aku bisa merasakan udara yang lebih bersih.
Siang ini aku dan temanku akan pergi ke perpustakaan kota untuk belajar sekaligus meminjam buku.
“Yo, kita berangkat sekarang?” tanya temanku dari depan rumahnya.
Aku keluar dari halaman rumah lalu menutup gerbang. “Ya. Ayo.”
Jarak dari tempat kami berangkat sampai ke perpustakaan hanya memakan waktu sekitar 30 menit. Di tengah kota terdapat perpustakaan negeri yang cukup besar.
Di sinilah kami sampai. Gedung besar berwarna putih, bagian depannya tumbuh pohon hingga bunga di pot, di atas pintu masuk terdapat tulisan ‘Jaksel City’ besar dan tulisan ‘Library’ di bawahnya.
Setelah mengecek suhu tubuh, menggunakan hand sanitizer, menyapa Mbak penjaga perpustakaan tanpa melepas masker, kemudian kami duduk secara diagonal di meja untuk 4 orang.
“Ah, tadi lumayan ya pelajaran matematika sama Bu Intan.”
Itu adalah yang dikatakan temanku setelah dia mengeluarkan buku pelajaran dari tas-nya lalu meletakkan buku yang diambil dari rak di depannya. Aku pun juga mengeluarkan buku dari tas.
“Haha, matriks, ya? Oke, jangan diomongin lagi, tetap tenang. Kita janji bakal catat pelajaran berbeda dari sini, kan?”
“Oke, oke.”
Kami selesai sekolah pukul 12 siang, satu jam istirahat, lalu satu jam mengerjakan tugas dari guru, dan datang ke perpustakaan. Perpustakaan dibuka mulai pukul 08.00-16.00.
Waktu kami sangat sedikit jadi kami sepakat untuk mencatat pelajaran berbeda dari sini, lalu ketika di rumah nanti kami bisa bertukar apabila ingin belajar.
Ini kami lakukan untuk memanfaatkan waktu dengan bijak. Kami juga tetanggaan, jarak rumah bukanlah masalah ketika ingin meminjam buku.
Dengan kesepakatan ini, temanku yang selalu banyak bicara menjadi pendiam dan tidak mengganggu yang lain. Walau di sini sangat sepi pengunjung seperti biasa.
Hari ini aku bertugas mencatat pelajaran geografi, sedangkan temanku mencatat pelajaran matematika. Kami merangkum materi yang guru beritahukan untuk bab baru.
“Hei. Oy! Ayo pulang. Udah jam segini.”
“Ah, o-oh, oke. Ayo.”
Aku terlalu fokus membaca sehingga terkejut ketika temanku memanggil. Menyalakan ponsel untuk melihat jam, di sana tertera sudah pukul 15.30.
“Dah, sampai ketemu lagi, Mbak!” kata temenku kepada Mbak penjaga sementara aku hanya melambai kecil.
“Jangan berisik di perpus, ya udah hati-hati di jalan, sampai ketemu besok.”
Kami keluar dari perpustakaan lalu berjalan menuju stasiun MRT, tujuan selanjutnya adalah membeli buku di GrandMedia, berjarak 2 stasiun. Setelah itu kami pulang pukul 18.00.
Sampai di depan rumah, aku mengetuk pintu lalu masuk.
“Oh, si anak manja udah pulang.”
Yang berbicara itu adalah abangku, dia duduk di sofa sambil menaikkan satu kakinya ke atas. Aku hanya bisa menunduk dan mengabaikannya lalu berjalan menuju ke kamar--
“Hey hey, mau ke mana? Hah, beli buku lagi ya? Gak guna banget, buang-buang duit. Sekarang nih lagi susah cari duit, tau!”
“Abang. Sudah dong, kasian adeknya baru pulang kok dimarahin?” ibuku mencoba menenangkannya.
“Ibu, ini anak buang-buang duit terus. Kartu anggota perpustakaan, beli buku, bayar internet juga termasuk. Bapak kan udah pensiun, cari duit juga lagi susah, jadi aku kasih tau dia untuk hemat!”
Aku hanya tertunduk tidak mampu menatap apalagi menjawabnya. Wajar dia marah sebab selama ini dialah yang menafkahi keluarga.
Abangku selalu marah ketika aku membeli buku. Walau aku beralasan untuk belajar, dia malah makin marah. Baginya belajar itu cukup di kelas saja.
Dia juga menanyakan apa gunanya aku ke perpustakaan kalau pada akhirnya malah membeli buku. Setiap pulang dari perpustakaan aku selalu dibentak.
Jujur saja aku sudah lelah belajar daring, hanya sedikit pelajaran yang masuk. Untuk itu aku ke perpustakaan dan belajar.
Namun ternyata buku di perpustakaan tidak selengkap kelihatannya. Banyak buku lama yang sudah usang namun sedikit buk barunya.
Hanya ibu dan ayahku yang mendukungku untuk belajar di luar. Mereka terkadang menggunakan uang tabungannya untuk aku membeli buku baru.
Walau suka marah-marah, namun abangku tetap memberiku uang jajan, maka dari itu aku hanya menerima kemarahannya saja, tidak berani menjawab apalagi melawan.
“Kalau nih buku menghasilkan uang mah gapapa. Nilaimu juga paling KKM semua!”
“... menghasilkan uang.”
“Hah? Apa? Ngomong yang keras!”
“Buku ini… akan menghasilkan uang. Ni-nilaiku juga akan di atas KKM.”
Ah, ya ampun. Apa yang baru saja kukatakan? Apa ini karena aku sudah lelah mendengar omelannya?
“Oh, nantang? PTS kapan? Nanti kita lihat nilainya dan bagaimana cara menghasilkan uangnya.”
Dua minggu berlalu sejak aku mulai berani berbicara kepada abangku. Penilaian tengah semester atau PTS sudah berhasil kulalui.
Hari ini sudah dibagian laporan nilai sementara berformat berupa berkas digital. Aku, abangku, ayah dan ibuku sedang duduk di sofa ruang keluarga.
Mereka menantikan pembuktian nilaiku dan caraku menghasilkan uang dengan sebuah buku. Pertama, aku akan menunjukkan nilaku dahulu.
“Lulus. Di atas KKM semua. Peringkat kedua dari empat puluh murid,” kataku sambil mendorong ponselku ke depan.
Ibu dan ayah wajahnya jadi sangat berseri, dan abangku matanya terbuka lebar ketika melihat nilaiku. Aku yakin sudah belajar keras dan kurasa itu sudah wajar ketika nilaiku tinggi.
“Bagus. Terus gimana sama menghasilkan uang dari buku, hah?”
Aku menarik ponselku lalu menggeser layarnya beberapa kali kemudian kuserahkan kembali.
“Angkanya tertulis 3 juta. Apa ini, nak?”
“Jadi Bu, ini… adalah bank onlineku. Itu adalah total uang yang aku punya.”
“Ehh?!”
Mereka bertiga terkejut. Tahap kedua ini aku menunjukkan jumlah uang yang aku sudah simpan sejak aku mulai bekerja menulis ulasan untuk sebuah buku atau novel.
Beberapa bulan yang lalu, aku hanya suka membaca buku, dan temanku tahu itu lalu ia dengan semangat memaksa untuk menyuruhku juga menulis ulasan atau rangkuman dari sebuah buku untuk diunggah ke sebuah website.
Aku terkejut ternyata pemilik website itu adalah temanku. Dia memiliki konten yang membahas berbagai buku atau novel. Tidak sekedar membaca, dia juga menulis ulasannya.
Aku tadinya hanya menuruti dan mengirim ulasan yang kutulis kepadanya. Namun beberapa bulan kemudian dia mengatakan sesuatu tentang pembayaran.
Ternyata menulis ulasan di internet menghasilkan uang, lalu ia membagikan hasilnya sedikit kepadaku.
“Maaf. Aku gak mencoba merahasiakannya, tapi emang baru sekarang aku bisa dapat uang ini.”
Kemarin, di MRT temanku berkata, “udah bikin akun bank-nya? Oke, nanti aku transfer uangnya. Terus tunjukkin ya ke abang kamu!”
Memang aku pernah membicarakan masalah tentang abangku kepadanya, tapi aku tidak menyangka dia peduli dan masih ingat. Aku sangat senang.
“Ini… dapat dari mana uangnya?”
“Ah, nanti aku kirim ke rekening ayah, ya. Kalau dijelasin bakal panjang…”
Sementara abngku masih syok, ibu dan ayah matanya bersinar terang meminta penjelasan. Mau bagaimana lagi? Lalu aku jelaskan panjang lebar kepada mereka.
Ah, ternyata waktu dan uang yang kuhabiskan untuk belajar tidak membuatku rugi. Aku bisa membahagiakan orang tuaku, dan membuat abangku terkejut.
Kupikir hari ini aku akan berterima kasih lagi pada temanku. Mungkin terima kasih saja tidak cukup, dia selalu ada dan mau membantuku. Bagaimana kalau mengadakan pesta perayaan?
Semenjak pandemi ini, temanku menjadi sangat rajin menulis atau membaca buku. Tentu saja juga termasuk belajar. Mengejutkan, dia adalah peringkat pertama nilai tertinggi di kelasku.
Semenjak pandemi juga, dia menjadikan belajar sebagai hobinya, bahkan bisa sampai menghasilkan uang. Kudengar dari ibunya, dia menjadi anak yang pendiam yang suka mengurung diri di kamar.
Sepertinya aku harus menariknya keluar dari untuk merayakan prestasi kami. Tidak hanya mencapai nilai yang tinggi, kami juga punya prestasi lain yaitu dapat bertahan secara ekonomi di saat pandemi.
TAMAT

Gg
ReplyDelete