Wlid Elves - karya MhmmdAr
BAGIAN 1: Elf dan Burung Hantu
Hutan itu masih hijau seperti biasanya, mungkin terlalu hijau karena banyak pohon besar yang tumbuh di mana-mana. Rumput dan lumut memenuhi tanah.
Di antara semua pohon, yang sedang menjadi tempatku bersandar adalah pohon yang paling besar dan tua. Para orang-orang di desa menyebutnya Pohon Asal.
Saking tuanya Pohon Asal, dia sudah tumbuh besar sejak generasi pertama elf yang tinggal di desa kami. Kami elf adalah peri hutan yang bisa hidup hingga ratusan tahun lamanya.
Akar raksasanya terpelintir, menciptakan celah kecil untuk tubuh rampingku meluncur. Meski sempit dan sepi, ini adalah tempat favoritku di seluruh desa.
Oh iya, benar. Secara penempatan, pohon ini tumbuh di luar desa. Berarti tidak ada satupun hal yang ku suka di desa tempatku tinggal. Sungguh menyedihkan.
Tidak hanya tinggal di dalamnya, elf juga berkewajiban menjaga hutan. Kami juga hanya makan tumbuhan dan hewan pemakan tumbuhan. Memakan hewan buas atau yang pemakan daging adalah hal yang tabu.
Kami memang sangat menjunjung tinggi nilai menjaga alam karena kehidupan kami sangat bergantung pada alam, desa kami juga terisolasi dari dunia luar seperti kota tempat ras manusia tinggal.
Walaupun sangat bergantung pada hutan, kami tidak menggunakan hukum rimba yang kejam. Para elf memiliki hukum normanya sendiri yang dipimpin oleh elf yang paling tua umurnya.
Elf yang paling tua di desa kami adalah nenek Thifanni. Beliau adalah elf yang paling tua di desa sampai-sampai tubuhnya seperti mengecil. Karena tidak bisa bergerak banyak, beliau hanya bisa berdiam di rumah kepala suku. Tidak ada yang mengetahui umur beliau, ia sendiri pun juga lupa.
Sebagai yang paling tua, nenek Thifanni sangat dihormati oleh semua orang. Apapun perkataannya akan selalu dipercaya. Contohnya adalah ketika nenek berkata kalau elf dan hutan adalah satu-kesatuan, Pohon Asal adalah awal mula kehidupan yang ada disekitar dan Pohon Asal juga sudah menyelamatkan elf ketika berperang jadi sudah jelas untuk menghormatinya.
‘Berperang’? Untuk satu kata itu aku tidak tahu apa artinya.
Di bawah kepala desa, berikutnya ada elf Penjaga. Elf Penjaga beranggotakan lima orang, mereka bertugas merawat kepala suku, mendiskusikan masalah desa, dan menyampaikan perkataan nenek Thifanni kepada yang lain.
Omong-omong, yang bisa menemui nenek Thifanni hanyalah keluarga alias Elf Penjaga saja. Elf biasa tidak diizinkan menemuinya apalagi menginjakkan kaki di halaman luas rumah kepala desa.
“Hooah…”
Setelah menceritakan sedikit tentang desa elf, aku merasa sangat mengantuk. Namun bukan berarti aku hanya bermalas-malasan saja di sini. Bersandar di pohon raksasa ini adalah bentuk aku menjalankan tugasku untuk menjaganya.
“Membosankan sekali…,” kataku sambil melihat sekeliling, “apakah beneran tidak ada seekor kelinci yang lewat?”
Aku memanjat ke atas pohon untuk mengambil busur dan anak panah yang sengaja kuletakkan di sana apabila aku melihat kelinci aku bisa segera naik dan membidik dari sana.
Membidik dari atas pohon memang sangat sempurna sebab cabangnya sangat besar sehingga aku tidak perlu khawatir takut patah dan terjatuh.
“Hey, bocah setengah manusia!”
Suara teriakan itu berasal dari bawah. Aku terkejut lalu langsung menengoknya segera.
“Kau bocah sialan, sudah berapa kali kubilang untuk jangan memanjatnya?! Kau juga menggunakan pisaumu--kalau pohonnya rusak bagaimana?!”
Ah, sial. Aku ketahuan memanjat pohon menggunakan pisau yang selalu berada di pingganggangku. Tapi mau bagaimana lagi? Memanjat pohon ini sangat sulit jadi aku butuh sedikit bantuan pegangan.
Aku mengenakan busur dan anak panahku menggunakan tali yang tersedia. “Oke, aku akan turun!”
Srrrttt!
Suara yang panjang dan tidak mengenakkan itu timbul akibat pergesekan antara pisauku dengan batang pohon. Aku memegang pisau dengan kedua tangan dan merosot ke bawah secara lambat menggunakan lintasan yang sudah kubuat.
“Kau…!”
Wah, seperti biasa pria elf itu menunjukkan wajah yang saat marah ketika aku melakukan itu untuk turun. Seharusnya dia memujiku karena telah berhasil membuat tanda besar di pohon yang sangat keras ini.
“Sudahlah, waktunya ganti shift. Pergi sana! Aku tidak tahan melihat wajah manusia-mu.”
“‘Wajah manusia’? tapi aku adalah Elf Merah Marun sama seperti kalian.”
Setelah mengatakan itu aku mendapatkan tatapan yang seperti sedang direndahkan. Memang pria tua itu jelas jauh lebih tinggi dibanding aku, tapi bukankah menatap seperti itu ke anak kecil sangatlah jahat?
Aku hanya bisa memendam amarahku, namun sepertinya ekspresi itu muncul sedikit di wajahku dan dilihat olehnya.
“Kenapa menatapku begitu? Memang seperti itu ‘kan kenyataannya? Meski kau memiliki warna rambut merah marun seperti kami, itu bukan bukti kuat kalau kau sama dengan kami. Lihatlah ayahmu, dia seorang manusia yang berani berzina dengan anak dari nenek--”
“Aku setengah manusia bukan berarti aku pengen…”
“--tidak perlu jauh-jauh, lihatlah dirimu sendiri dulu. Telingamu panjangnya setengah dari elf yang lain. Ya ampun, apa yang dipikirkan nenek untuk membiarkan setengah manusia sepertimu menjaga Pohon Asal?”
Tanpa memperdulikan perkataanku, dia masih melanjutkan mengejekku. Kini raut wajahnya yang tadi meremehkan berubah menjadi seperti melihat sesuatu yang menjijikan.
“Pergilah!”
Pria itu berbalik ke arah lain dan aku meninggalkannya tanpa mengatakan apapun. Sebenarnya perlakuan seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hariku, tapi kenapa aku tetap merasa tidak enak?
Aku ingin pergi keluar dari desa ini…
Meskipun berkata seperti itu, aku tidak tahu harus kemana. Di luar sana hanya terlihat lautan hijau tanpa batas. Ke mana aku bisa pergi? Dan bisakah aku selamat di luar sana?
Untuk seukuran elf, meskipun sudah 17 tahun aku masih terlalu muda. Namun untuk ukuran manusia yang umurnya sedikit kurasa sudah cukup dewasa…? Mungkin.
Semua orang di desa mengatakan kalau aku memiliki seorang ayah manusia. Namun aku sendiri belum pernah melihat manusia. Nenek berkata bahwa ayahku dieksekusi setelah ketahuan bermesraan dengan ibu di luar desa.
Lagipula, apakah ayahku memang benar seorang manusia? Yang membuatku berbeda dengan elf lain apakah mereka yakin kalau itu bukan hanya kelainan? Aku biasa menemukan hewan buruan di hutan memiliki bentuk yang berbeda dengan ras-nya. Nenek bilang kalau itu adalah kelainan.
Atau sebenarnya, apakah manusia atau ras selain elf itu memang ada? Darimana mereka semua mengetahuinya? Dan aku dengar tubuh manusia lemah, hutan juga dipenuhi hewan buas, kami pun tinggal di dekat gunung besar, bagaimana manusia bisa sampai ke desa?
Sangat sulit membedakan jalan ketika hanya terlihat banyak pohon serupa di depan mata. Aku sendiri tidak tahu bagaimana kami bisa tinggal di sana dan terisolasi. Mereka yang di desa mengatakan kalau manusia adalah makhluk yang lebih kejam dari hewan buas.
Manusia akan langsung membunuh makhluk lain yang mereka lihat. Para elf berbicara seakan mereka pernah melihatnya, kalau memang iya lalu kenapa mereka semua mereka masih hidup?
Jelas sekali cerita mereka sangat mencurigakan. Atau karena aku terlalu kecil jadi tidak mengetahui kejadian masa lalu? Mungkin saja. Aku adalah satu-satunya seorang bocah di sana.
Argh! Memikirkan ini semua membuatku kepalaku jadi panas.
Tidak, tunggu. Bukan hanya kepalaku, bahkan semua tubuhku menjadi kepanasan. Kurasa tubuhku menjadi panas bukan karena memikirkan hal tersebut. Tapi udara di sekitar yang memanas!
Sial, belakangan ini cuaca hutan semakin panas. Walaupun pohon-pohon telah menutupi sebagian besar cahaya matahari, tapi hari ini benar-benar panas. Biasanya tidak seperti ini.
“Wuih…! Panasnya ya hari ini. Hewan buruan juga dapetnya gini-gini saja. Entahlah bakal cukup atau tidak.”
“Rhafi! Selamat datang. Terima kasih untuk kerja kerasnya mengumpulkan makanan walau udara sedang sepanas ini.”
“Hahaha, tidak perlu dipikirkan. Ini tugasku. Supma, kamu bawa ini masuk. Aku mau istirahat dulu di sini sambil menggantikanmu sebentar.”
“Baiklah. Aku akan segera turun untuk mengambilnya.”
Supma si penjaga gerbang memungut rusa berukuran sedang lalu meletakkannya di pundak dan berjalan masuk ke dalam. Setelah mendengar pria tua bertubuh kekar yang dipanggil Rhafi tadi, aku langsung bersembunyi di pohon terdekat dan mengamatinya.
Daripada mengamatinya, aku lebih seperti menghindar untuk berpapasan dengan mereka. Jalan masuk ke desa hanya bisa dari satu gerbang itu saja. Desa kami dilingkari oleh pagar kayu yang sangat tinggi. Kayu-kayu itu diambil dari pohon sekitar.
Sekarang bagaimana caranya aku lewat?
Aku sekali lagi mengintip. Rhafi menaiki tangga menuju pos jaga di atas lalu dia duduk dan membuat dirinya nyaman sambil mengipasi wajahnya menggunakan tangan.
Sudah kuduga yang merasa panas bukan hanya aku saja. Dan aku juga menyadarinya baru-baru ini kalau hewan yang terlihat di hutan semakin sedikit. Walau pencarianku hanya sampai Pohon Asal, biasanya banyak hewan berkeliaran mencari daun.
Huft… Aku membuang nafas kecil lalu bersandar pada pohon dan duduk dengan posisi kaki yang diluruskan ke depan di tanah.
Aku meletakkan pisau-ku yang bersih, busur yang belum disentuh, dan tabung tempat yang memuat 7 buah anak panah berarti belum pernah digunakan hari ini.
Udara yang panas dan jumlah hewan yang mulai sedikit kurasa tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mendapatkan hasil berburu. Walau keadaan seperti ini Rhafi bahkan bisa dapat satu ekor rusa berukuran sedang.
Dilihat dari bekas darah lain yang ada di tubuh Rhafi, sepertinya dia sempat menikmati hewan lain untuk dirinya sendiri di dalam hutan ketika berburu tadi.
Padahal para elf lain bisa membanggakan kemampuan berburu mereka, sementara aku hanya bisa duduk di sini sambil melihat langit yang hijau, hampir semuanya tertutup daun.
Apakah aku memang bukan bagian dari mereka?
Tidak, tidak, tidak. Rambutku memang pendek, tapi warnanya merah marun seperti mereka semua. Walau lebih pendek setengahnya, telingaku juga terlihat lancip.
Bahkan aku juga mengenakan gaun hijau tua yang melindungi sampai pergelangan tangan dengan bagian bahu terbuka dan ujungnya sedikit lebar, dilengkapi juga dengan rompi kecil berwarna coklat di atasnya.
Aku juga memakai sepatu boot coklat setinggi hampir menyentuh paha. Pakaianku sama dengan apa yang dipakai elf wanita muda di desa. Namun apa sebenarnya yang membuatku berbeda dari elf lain?
Menundukkan kepala sambil menutup wajahku dengan kedua tangan, aku mencoba membuat kepalaku bekerja keras mengingat apakah ada momen dimana aku bertemu dengan kedua orang tuaku.
“Liz! Liz!”
“Wah!”
Suara teriakan yang memanggil namaku membuat aku terkejut dan sadar kembali. Tiba-tiba saja mataku seperti menjadi besar dan seakan-akan bercahaya hingga ingin mengeluarkan air mata.
“Oh! Lux, kamu ke mana saja?! Aku sudah menunggumu!”
“Hei, siapa di sana?!”
Gawat, karena tanpa sadar mengeraskan suara, Rhafi dengan curiga berteriak ke arah kami dari pos. Aku segera mengenakan peralatanku dan berlari membelakangi desa.
“LIZ! Mau ke mana?”
“Sshhh! Ke sini, ikuti aku.”
Karena rumput yang tinggi dan lumut yang memenuhi tanah membuatnya terasa licin, aku berlari dari satu akar timbun ke akar timbun yang lain. Melewati celah di antara dua pohon, melompati batu menonjol dari dalam tanah dan menggunakannya untuk melompat, akhirnya aku sampai di atas pohon.
Ciri elf lain yang kumiliki adalah kelincahan dan kecepatan. Aku sangat percaya mengenai kemampuan ini, tubuh rampingku juga faktor pentingnya. Walau tidak bersuara dan menimbulkan angin, Lux mampu mengikutiku.
Aku duduk di cabang pohon yang cukup besar dan Lux berdiri di depanku. Karena panik, aku sepertinya lari terlalu cepat hingga kurasa kami cukup jauh dari desa.
“LIZ! Tidak apa?”
“Hm? Ya, tak apa.”
“MAU! Mencari buah?”
“Nanti saja, aku mau istirahat dulu.”
Aku yakin semua orang di desa belum pernah merasakannya, tapi aku baru saja berbicara dengan seekor burung hantu. Kami bahkan berteman. Lux adalah burung hantu yang unik, dia mampu berbicara seperti elf.
Bisa berbicara memang bagian paling uniknya, tapi dia juga mempunyai bagian untuk lain seperti besar tubuhnya seperti di atas rata-rata burung hantu lain. Matanya berwarna merah, wajah selalu menampilkan ekspresi marah, dan sepasang bulu di dekat matanya tumbuh ke atas seperti tanduk.
Sudah cukup lama Lux menjadi temanku setelah dia pernah ku rawat luka gores besar di bagian sayap kirinya, bahkan bekasnya pun masih terlihat karena tidak ditumbuhi bulu.
Kala itu aku sedang berburu dan tidak sengaja melihatnya. Awalnya alasanku mengobati dia karena memakan hewan terluka itu tidak enak, karena dagingnya bisa saja membusuk.
Untuk alasanku tidak jadi memakannya karena setelah sembuh dia mengucapkan “terima kasih”, dia mengeraskan suaranya di bagian “terima” itu membuatku terkejut, dan yang paling membuatku terkejut hingga melarikan diri tentu saja ketika aku mengerti bahasanya!
Lux memiliki suara seperti elf pria tua dan kata-katanya tidak sempurna. Sejak aku menolongnya dia selalu mengikuti dan memberiku banyak buah berry, katanya dia ingin membalas kebaikanku.
Hingga suatu ketika ia melihatku yang sedang bersedih setelah diejek oleh elf lain di dekat Pohon Asal, dia mendatangiku dan mengajak berteman. Aku memberinya nama “Lux” agar mirip seperti namaku dan jadi mudah dipanggil.
Omong-omong, namaku memang “Liz” saja, terdiri dari satu suku kata karena aku adalah elf anak-anak. Sedangkan elf dewasa memiliki nama terdiri dari dua suku kata seperti “Rhafi” dan “Supma”, dan elf kepala desa memiliki nama terdiri dari tiga suku kata seperti “Thifanni”.
“Lux, kamu dari tadi ke mana saja? Mencari keluargamu lagi?”
“TIDAK!”
Ketika awal kami berteman, Lux menceritakan kala itu dia sedang terbang mencari istri dan anaknya yang tiba-tiba menghilang dari sarang. Ketika mendekati desa elf, dia terkena anak panah yang meleset, dan ketika sedang terbang menjauh dia terjatuh lalu aku menemukannya.
Lux sangat peduli dengan keluarganya, walau sudah pernah kubilang kalau ada kemungkinan istri dan anaknya itu sudah dimakan oleh para elf atau hewan liar yang ada di hutan, dia tetap bersikeras mencari keluarganya.
Lux adalah jenis burung hantu berry, mereka memakan buah-buah kecil dan daun-daun tertentu. Jadi wajar saja jika salah satu elf di desa menjadikannya mangsa.
Tapi sepertinya hari ini dia sedang tidak mencari keluarganya.
“Lalu apa yang kamu lakukan?”
“KUMPUL! Buah Liz!”
Ya ampun. Aku memang tahu dari awal, perkataan Lux memang sulit dimengerti, meskipun sedikit kesulitan tapi karena sudah lama bersamanya kurasa aku bisa memahami artinya.
“Mengumpulkan buah untukku? Dimana kamu mengumpulkannya? Kebetulan aku sedang lapar…”
Aku memegang dan melihat perutku, hari sudah hampir sore tapi aku belum makan apapun.
“JAUH! Sana.”
Setelah menyelesaikan perkataan singkat itu, dia menoleh ke arah kiri. Kurasa dia menaruh buahnya cukup jauh di dalam hutan sana.
“Kamu meletakkannya di tanah atau di pohon?”
“POHON!”
“Bagus. Tunjukkan jalannya sekarang.”
Aku mengeratkan kembali peralatan yang terikat di tali yang berada di tubuhku. Lux mulai terbang terlebih dahulu, lalu aku akan menggunakan akar gantung untuk pindah dari satu pohon ke pohon lain untuk mengikutinya.
Sudah beberapa pohon kami lewati, Lux belum juga berhenti. Tanganku sudah sangat kotor dan mulai memerah. Kaki yang kugunakan untuk mendarat sesekali juga mulai bergetar.
Ketika aku merasa akan pingsan, Lux mulai menurunkan kecepatan terbangnya dan berhenti di dua cabang pohon yang saling melilit. Aku melirik sedikit ke atas dan di sana terdapat banyak sekali buah berry kecil berwarna hijau, merah, ungu, dan juga ada buah pir hijau bulat.
Lux memang hebat, dia bisa mengumpulkan buah sebanyak ini walau hari masih siang. Setelah sampai di cabang pohon, aku duduk berhadapan dengan Lux. Atau sebenarnya tidak? Aku tidak tahu Lux bisa duduk atau tidak.
“Hah… Hah… Hah, i-inikah buah yang kamu kumpulkan? Akhirnya! Lux, ayo kita makan!”
Untuk permulaan aku menggigit dengan semangat satu buah pir yang kupegang dengan kedua tangan. Langsung saja aku bisa merasakan segarnya buah pir berpindah ke tubuhku, mulutku dipenuhi air dari buah, dan tanpa mempedulikan tanganku yang kotor aku mengambil buah lain.
Berbeda denganku yang sangat senang dan bersemangat, Lux menyantap buah berry kecil dengan tenang. Dan tanpa kami sadari, buahnya telah habis. Menghabiskan buah sebanyak ini berdua memang tidak membuatku kenyang namun setidaknya bisa mengisi perut.
“Makasih ya, Lux… Kamu memang temanku.”
Tanpa sadar aku berbicara seperti itu dengan suara rendah.
“LIZ! Teman.”
“Hahaha, benar. Kita adalah teman!”
Setelah itu aku bersandar di pohon sambil memangku semua peralatanku. Aku melihat ke atas, kami seperti diberi atap yang nyaman oleh pohon. Aku mengingat kembali apa yang terjadi hari ini sambil menuangkan rasa syukur.
Walaupun aku selalu dirundung, diejek, dipandang rendah, dan dijauhi seakan tidak tidak diterima oleh elf lain, aku masih bersyukur bisa hidup. Tapi, aku tetap ingin hidup lebih menyenangkan seperti elf yang lain.
Tentu saja pemikiranku untuk kabur dari desa dan melihat dunia luar belum berubah. Setelah memikirkan semua itu, tanpa sadar hari sudah mulai gelap, saatnya untukku dan Lux pulang.
“Lux, terbanglah dan tunjukkan arah untukku kembali ke desa.”
Lux terbang sangat tinggi dan turun kembali lalu menunjukkan arah pulang menggunakan wajahnya atau lebih tepatnya dengan tatapan tajamnya itu. Burung hantu punya mata yang baik dan juga sebagai teman aku mempercayainya.
Setelah turun dari pohon, aku melambai tangan pada Lux sebelum berjalan ke arah yang ditunjuknya dan kami berpisah di sini.
BAGIAN 2: Elf Penjaga dan Nenek Thifanni
Saat siang hari, hutan hanya mendapat sedikit cahaya karena tertutup dahan pohon yang ditumbuhi daun. Ketika matahari terbenam, hutan yang tadinya mendapat sedikit cahaya kini sama sekali tidak terdapat cahaya.
Suara jangkrik dan hewan nokturnal mulai menghidupkan suasana malam hari di hutan. Bulan tidak cukup untuk menerangi hewan-hewan yang bersuara itu, tidak cukup terang juga untuk menunjukkan jalan.
Walau hutan gelap gulita, namun ada satu tempat di mana terdapat cahaya namun bukan dari bulan, yaitu dari api yang terdapat pada obor. Tempat itu adalah desa para Elf Merah Marun. Di setiap rumah yang ada di desa ditempeli dua obor menyala.
Sebagai bentuk evolusi, para elf menjadi sangat ahli untuk melihat dalam kegelapan. Tidak terlalu kelihatan, namun untuk beberapa saat kita bisa melihat mata mereka seakan menyala layaknya hewan nokturnal.
Di pintu masuk desa terdapat dua elf laki-laki yang berjaga. Mereka lengkap mengenakan busur, anak panah, pisau, tombak, dan sebuah perisai yang menempel di tangan. Dua elf itu tidak berjaga tepat di pintunya, tapi di bangunan pos jaga berbentuk persegi yang berada jauh di atas tanah.
Telinga elf yang panjang dan lancip memberikan mereka kemampuan untuk mendengar suara dengan jelas walaupun sekecil suara langkah kaki. Kedua elf yang sedang berjaga mendengar suara rumput yang terinjak dari dalam hutan. Salah satunya menajamkan mata untuk melihat.
“Hey, boca--Liz! Cepatlah masuk, nenek sudah menunggumu!”
Menyadari namanya dipanggil, seorang gadis kecil yang datang dari dalam hutan langsung mengangkat kepalanya karena terkejut. Dia tadinya hanya ingin membiarkan kepalanya tertunduk sambil berjalan.
Gadis elf itu terkejut karena mendengar namanya disebut oleh warga desa, padahal biasanya mereka selalu memanggil Liz dengan sebutan “bocah setengah manusia”, ini adalah pertama kalinya warga desa menyebut nama Liz. Apakah sesuatu telah terjadi?
Tanpa mengatakan apa-apa, Liz mempercepat langkahnya masuk ke dalam desa. Segera salah satu elf pria yang ada di pos turun dan menutup satu-satunya pintu masuk desa.
“Liz! Hey, tunggu!”
Sekali lagi elf kecil itu terkejut namanya dipanggil oleh elf yang baru saja menutup pintu masuk. Dia semakin tidak mengerti apa yang terjadi, kini dia mulai berlari. Tujuannya adalah sebuah rumah cukup besar yang berada agak jauh di depannya.
“Liz sayang, kamu sudah pulang?”
“Hai, Liz.”
“Liz, nenek menunggumu.”
“Liz, kamu pulang telat lagi hari ini.”
“Liz, kamu sudah makan?”
Kali ini para warga, pria dan wanita yang menyapa akrab Liz. Setiap dia melangkah maju, dia terus disapa tanpa henti. Kini dia tidak hanya terkejut, tapi dia juga entah mengapa menjadi takut. Dia sudah berlari sejak tadi namun rumahnya jadi terasa sangat jauh.
A-apa-apaan ini?! Aku tidak mengerti! Aku tidak mengerti! Aku takut…!
Sambil terus berlari Liz terus mengatakan itu di kepalanya. Banyak sekali pertanyaan di kepalanya yang membuat dia semakin merasa pusing. Dia berharap ini semua adalah mimpi dan segera berakhir.
Ahh… Nenek, aku takut…
Liz terus memanggil nama neneknya, tubuhnya semakin terasa ringan namun jadi semakin berat untuk bergerak lebih cepat.
Kuharap ini mimpi..!
Tubuhnya menggigil, kepalanya mulai kosong. Dia juga berharap ini terjadi karena ia hanya makan sedikit tadi. Perutnya memang sudah terisi, namun tidak benar-benar penuh.
Dan… Kumohon segeralah… Berakhir--
Brak!
Terdengar sebuah benda tumpul yang terjatuh di atas tanah. Itu adalah suara tubuh Liz yang terjatuh, dia tidak bisa lagi menahan dirinya dan berakhir pingsan ketika sedang berlari.
“Ah, Liz!”
“Liz sayang, kamu tidak apa-apa?!”
“Hey, kalian! Cepat bantu Liz.”
Para elf yang berada di dekatnya langsung berkumpul, bahkan kedua elf yang sedang berjaga ikut bergabung dengan kerumunan. Salah satu dari penjaga pintu masuk itu adalah seorang pria dengan badan yang kekar.
“Rhafi, cepat angkat dan bawa Liz ke rumah nenek.”
~~~
Beberapa jam sebelumnya di dalam desa elf. Semua warganya berkumpul di sebuah panggung kecil berbentuk persegi panjang yang terbuat dari kayu. Panggung itu terlihat ramai penuh hiasan di setiap sudutnya dengan berbagai bunga dan daun-daun hijau besar yang bercabang.
Di panggung tersebut berdiri lima orang elf pria bertubuh kekar lengkap dengan janggut putih yang agak panjang, mereka mengenakan kain berwarna hijau tua yang melilit tubuh dan terdapat jubah panjang yang terbuat dari kulit rusa yang sudah dibentuk dan dijahit.
Tinggi mereka hampir dua meter, namun ada satu yang paling tinggi berdiri sambil menggunakan tombak dengan bentuk segitiga yang indah di ujungnya, warnanya perak mengkilap. Elf yang memegang tombak itulah yang paling mencolok.
Elf Merah Marun memiliki sepasang mata berwarna hijau tua, namun miliknya berwarna hijau muda dan bersinar. Tidak seperti elf lain yang membiarkan rambutnya jatuh begitu saja, dia meletakkannya di depan wajah sehingga menutupi mata kirinya.
Ekspresi wajahnya sedang sedih namun juga terlihat sedikit amarah di sana. Dia maju dua langkah lalu mengetuk tanah dengan tombaknya. Tok! Tok! Walaupun niatnya untuk mengumpulkan perhatian, namun sejak tadi semua elf sudah memfokuskan mata padanya.
“Wahai rakyat-rakyatku penghuni desa Quessir.”
Dengan suara yang berat dan berwibawa elf yang membawa tombak itu menyapa para warga. Desa tempat tinggal para Elf Merah Marun bernama Quessir yang berarti hijau, tumbuhan, lumut, dan akar.
“Diriku dan empat Elf Penjaga lainnya kali ini tidak hadir untuk menyampaikan wahyu. Namun kalian ketahuilah, kami berdiri di sini akan memberikan peristiwa yang sangat penting.”
Semua elf yang menonton terkejut. Mereka para elf Penjaga Biasanya membuat kerumunan dan berdiri di atas panggung untuk menyampaikan pesan dari nenek Thifanni. Tapi sepertinya kali ini bukan itu tujuan mereka.
“Diriku, Arcnes, putra tertua dari Elf Agung Thifanni, berdiri dengan gagah di sini untuk membawa dan menjaga beliau!”
Arcnes kembali mengetuk tombaknya ke tanah di akhir kalimat. Keempat Elf Penjaga lain segera bergerak menjauh sehingga membuat sedikit ruang di tengah panggung. Tiba-tiba saja angin kencang bertiup membuat pusaran lalu menghilang, dan di sana muncul seorang elf perempuan tua yang tingginya hanya setengah dari kelima Elf Penjaga.
“N-ne-nenek Thifanni!”
Semua elf terkejut dan berteriak menyebut nama nenek Thifanni. Walaupun belum pernah melihatnya secara langsung, semuanya tahu kalau perempuan tua yang badannya terlihat rapuh itu adalah nenek Thifanni.
Sambil sekuat tenaga memegang tongkatnya untuk pegangan agar tetap bisa berdiri, nenek Thifanni membuka kedua matanya lalu menarik nafas yang dalam. Mata miliknya terlihat sangat bersih dan putih, ditengahnya terdapat lingkaran hijau tua sepenuhnya dan sangat mengkilap.
Bruk!
Tidak tahan dengan aura keagungan dan keindahan mata dari tatapan yang dibuat nenek Thifanni, para elf yang berada di posisi penonton langsung terjatuh dan bersujud dengan dalam ke arah nenek.
“O-ohh Dewi Diana Yang Agung, terima kasih kupanjatkan karena hari ini kami masih diberi hidup…!”
Seorang elf pria paling depan menangis setelah mengatakan itu. Nenek hanya memberikan senyuman kecil sebagai respon, sedangkan Elf Penjaga itu menatap dengan datar ke arah penonton yang bersujud.
“Cukupilah sampai di sana. Angkat kepala kalian, wahai rakyatku.”
“Ahh, sungguh suara yang indah. Baru kali ini aku merasa sangat terberkati.”
Seorang elf perempuan di bagian belakang berbicara dengan sambil meneteskan air mata, lalu dia membuat sujudnya semakin dalam. Merasakan hal yang sama, elf lain langsung mengikutinya.
“Cih. Hey, Sang Elf Agung sudah berbaik hati untuk mengizinkan kalian mengangkat kepala, kenapa malah tetap bersujud?! Kalian tidak dengar?!”
Suara amarah datang dari arah panggung. Itu bukan suara Arcnes, tapi dari salah satu Elf Penjaga yang lain. Elf yang memiliki tato berbentuk daun di wajah bagian kirinya itu tampak marah.
“Mo-mohon maafkan atas ketidaksopanan kami ini!”
Seorang elf pria paling depan meminta maaf mewakili yang lain. Kini mereka semua secara perlahan mengangkat kepala mereka dan duduk dengan melipat kedua kaki ke belakang.
“Maksud kedatanganku ke sini dengan menggunakan kekuatan suci peri angin adalah untuk membicarakan satu-satunya cucuku, Liz.”
Suara kecil menggema di setiap elf yang berkumpul. Itu adalah suara keterkejutan, tentu saja dalam hal yang tidak mengenakkan. Tentu saja mereka semua membenci Liz si Elf yang juga merupakan setengah manusia.
Namun hal paling mengejutkannya yaitu mereka mempertanyakan apa alasan nenek Thifanni sampai keluar dari rumah kepala desa. Apakah sepenting itukah urusannya?
“Sebenarnya tidak hanya tentang Liz cucuku, tapi juga tentang hutan dan kita yang selalu bergantung pada hutan yang diberkahi oleh kekuatan agung Dewi Diana. Pertama-tama, mari kita mulai dari…”
“Tunggu, Bu.”
Arcnes menghentikan nenek Thifanni yang sedang berbicara.
“Hei kalian elf yang menjaga gerbang. Apakah Liz belum pulang?”
Arcnes berbicara terbuka kepada siapa saja yang ada di depannya.
“T-tuan Arcnes,. Saya Rhafi, tadi kebetulan saya melihat Liz pergi beristirahat di sebuah pohon.”
“Benarkah? Kalau begitu baguslah. Mari kita mulai. Diriku tahu bahwa kalian semua sangat membenci Liz dan selalu berbuat jahat padanya.”
Wuss~
Udara yang dingin dan mengerikan seakan-akan melewati kerumunan elf. Mereka semua ketika ketakutan ketika Arcnes selesai berbicara dan mulai mengerutkan keningnya. Nenek Thifanni juga menjadi kehilangan senyum di wajahnya.
Walaupun Liz dianggap hina karena sebagian dari dirinya adalah manusia, Liz tetaplah bagian dari keluarga terhormat di desa Quessir. Kalau sudah ketahuan seperti ini, mereka semua akan tetap menerima apapun itu hukumannya.
“Mohon maafkan diriku, Bu. Mulai dari sini sebaiknya diriku saja yang berbicara.”
“Eh? Ah, t-tapi…”
“Tidak apa, Bu. Kita serahkan saja pada saudara Arcnes.”
“Saudara Arcnes sudah terbiasa dengan ini.”
“Ibu nanti kelelahan, jadi serahkan saja pada Arcnes”
“Saudaraku, silakan dilanjut, serahkan penjagaan ibu pada kami.”
Keempat Elf Penjaga lain mendukung Arcnes. Mereka sekarang mulai merapat melingkari nenek Thifanni dengan membiarkan bagian depannya terbuka.
“Begitu ‘kah? Terima kasih saudara-saudaraku.”
Arcnes kembali melihat ke depan. Dia menguatkan mental dan genggaman tangannya pada tombak yang sejak tadi dia pegang. Dia tidak menyangka akan mengatakan hal ini pada seluruh rakyatnya. Kata-kata itu sejak tadi terus menyangkut di tenggorokan, namun sekarang sudah bisa dikeluarkan.
“Kami para Elf Penjaga tidak berniat menghukum kalian…”
Arcnes mengambil nafas panjang sehingga membuat dadanya menonjol ke depan. Para elf yang melihatnya semakin kebingungan.
“Karena… Karena kita semua akan mati malam ini.”
“Eh?”
Setelah beberapa saat keheningan terjadi, seorang elf mengungkapkan kebingungannya. Perkataan Arcnes memang singkat dan padat, namun maksudnya tidak jelas. Elf adalah makhluk yang mendekati keabadian. Kenapa mereka harus mati malam ini?
Comments
Post a Comment