Skip to main content

Chapter 2

‎ BAGIAN 1: Mimpi dan Pedang



Aku terbaring di sebuah tempat tidur yang empuk, nyaman dan hangat. Aku sangat mengenal dengan suasana di ruangan ini mulai dari luasnya, dindingnya, serta peralatan yang ada di sini. Namun ada beberapa barang yang tidak terlihat, dan penglihatanku juga agak samar.


Benar, ini adalah kamarku.


Tapi terasa lebih muda karena kayu yang digunakan sebagai dinding masih terlihat sangat bagus, kamar ini juga terasa lebih luas dan entah mengapa aku merasa asing di sini. Kain yang digunakan di tempat tidur juga terasa lebih tebal.


Ah, tanganku… Kedua tanganku jadi mengecil, aku tidak bisa merasakan berat kakiku, mulutku juga terasa sangat rapat. Aku tidak bisa berbicara, bahkan bernafas seperti biasa pun terasa sulit.


Apakah aku berubah menjadi seorang bayi?


“Wu… Uss, ne… Nye…”


Aku mencoba memanggil Lux dan nenek, tapi suaraku terasa tidak benar. Aku kesulitan membuka mulut dan menggerakkan lidahku. Apa aku beneran menjadi bayi? Tapi kenapa bisa?


Krek!


Oh, suara pintu. Siapa di sana?


“Ah, Liz sayang, kamu sudah bangun ya, nak?”


Ya ampun, mataku tidak sejernih biasanya. Aku tidak bisa melihat jelas dari siapa suara lembut itu datang. Dia masuk ke dalam kamar sambil membawa nampan dengan kedua tangannya.


Namun aku yakin itu suara seorang wanita. Wanita itu memiliki rambut panjang dan dia terlihat sangat tinggi. Aku tidak bisa bangkit dari tempat tidur untuk melihat wajahnya. Sial, apa-apaan ini?


“Ayo kita makan dulu, nak. Ibu sudah masak sup hangat untuk kamu.”


“I… Bu?”


I-ibu?!


Benar, aku memang merasa sedikit dingin dan lapar, jadi aku sudah tidak sabar untuk menyantap sup hangatnya. Tapi kesampingkan dulu soal sup, tadi wanita ini bilang ‘ibu’?


Ti-ti-tidak mungkin, kan, ya? Ne-nenek memberitahuku kalau ibuku juga dieksekusi tepat setelah satu tahun melahirkanku. Aku tidak maksud melupakan ibuku, namun aku sama sekali tidak memiliki ingatan tentang dia di dalam kepala.


“Sini, nak, biar ibu gendong.”


W-wah!


Dia meletakkan piring di atas meja yang dekat dengan tempat tidur, menarik kursi mendekatiku, lalu memelukku dengan lembut dan diangkat secara perlahan. Tubuh ini sangat ringan aku jadi sedikit terkejut ketika diangkat.


Wajahnya! Kalau posisinya seperti ini, aku bisa melihat wajahnya...

A-apa-apan ini? Penglihatanku memang agak samar, tapi aku sama sekali tidak bisa melihat wajahnya! Wajah wanita ini seperti ditutupi oleh kabut putih yang selalu mengikuti gerakannya.


Aku mencoba membuka lebar mataku. Tapi sangat sulit, mata ini sangat kecil.


Kupikir setidaknya aku bisa melihat wajahnya. Wajah seseorang yang telah melahirkan dan merawatku, meski hanya selama satu tahun. Aku sama sekali tidak mengingatnya, jadi tolong biarkan aku…


Biarkan aku melihat wajah ibuku...


Ah, a-apa ini? Mulutku mulai bergetar, dan tubuhku menjadi lebih ringan.


“Liz?”


Ibu memanggilku dengan perasaan bingung. Dia juga mengangkatku sedikit ke atas lagi, mendekati wajahnya. Berapa kali pun kufokuskan, aku tetap tidak bisa melihat wajahnya.


Aku merasakan sesuatu yang basah ketika secara tidak sengaja menyentuh pipiku.


Air mata?


Aku menangis?


Kenapa? Kenapa aku mengeluarkan air mata?


“Liz...!”


Cup. Ibu mencium keningku, lalu dia membiarkan bibirku menyentuh pipinya.


“Maaf, nak. Maafkan ibu, maafkan ibu karena harus membiarkan ini terjadi padamu…!”


Ibu menangis?


Dia meletakkanku kembali ke tempat tidur, setelah itu dia dengan sengaja menjatuhkan diri ke lantai dan memelukku yang ada di kasur. Aku merasa ada beberapa tetesan air yang menyentuh kulitku.


“Hah, ah, maafkan ibu, Liz! Liz sayangku, ibu tidak ber-bermaksud memberimu hidup yang sulit. Ibu menyayangimu, Liz! Ibu mencintaimu, Liz! Bahkan ayahmu…”


Tangisan ibu semakin terasa, suaranya semakin mengeras. Dia terus-menerus meminta maaf walau berbicara dengan benar mungkin sulit baginya. Air matanya terus menetes.


“Ca… Yang i fu.”


“Eh?”


Aku tidak mengerti kenapa ibuku menangis. Aku tidak mengerti kenapa ibuku terus meminta maaf. Aku baru melihatnya sekarang, kesalahan apa yang telah dia buat sampai menangis dan meminta maaf seperti itu?


Tapi ada satu hal yang kutahu, yaitu aku juga sangat menyayangi ibuku.


“Liz… Kamu bilang apa?”

Ibu mengangkat kepalanya untuk mengambil jarak agar bisa melihat wajahku dengan jelas.


“Ayang, ibu.”


Bagus, aku mulai lancar mengatakannya.


“Izu ayang ibu.”


Aku melihat tubuh ibu menegang. Aku yakin dia pasti terkejut dengan perkataanku. Ya ampun, aku sangat ingin melihat wajahnya. Kalau ini adalah kesempatan untukku mengingat kembali wajah orang tuaku, aku ingin melihat wajahnya walau hanya sebentar.


Ibu mengelap air matanya menggunakan kedua tangan. Aku bisa melihat senyumannya.


Senyuman? Mulut? Aku bisa melihatnya! Sekarang aku bisa melihat sedikit bagian dari wajahnya.


“Ibu juga. Ibu juga sangat menyayangimu, Liz. Tumbuhlah menjadi anak yang sehat dan kuat. Ibu tidak bisa membayangkannya, tapi ibu tahu kemungkinan besar kehidupanmu nanti akan terasa sangat berat…”


‘Terasa berat’, ya?


Aku yakin pasti maksudnya adalah ketika aku direndahkan elf lain. Kalau dipikir-pikir itu memang benar-benar berat. Tapi syukurlah setidaknya aku bisa tumbuh secara sehat, dan aku kuat menahan hinaan dari elf lain selama ini.


“Tapi ingatlah selalu, Liz, ibu dan ayah sangat menyayangimu. Ibu dan ayah tidak bermaksud mengkhianati ras elf ataupun manusia, kami hanya ingin kedua ras berdamai…”


Kurasa orang tuaku memang benar-benar menyayangiku, aku senang mendengarnya. Tapi aku tidak mengerti perkataan selanjutnya. Dan dari penglihatanku, senyum ibu mulai menghilang.


“Ibu yakin nanti kamu akan merasakan kebencian banyak orang, tapi jangan membenci mereka, Liz. Ketahuilah, Liz, impian ibu dan ayah adalah melihat manusia dan elf dapat hidup rukun. Ini mungkin permintaan egois, tapi ibu ingin kamu melanjutkan impian kami.”


Sudah beberapa kali ibu mengatakan ‘manusia’? Jadi mereka memang benar-benar ada, ya. Dan sepertinya aku dimintai untuk membuat kedua ras berdamai. Bukan hanya permintaan egois, tapi juga permintaan yang mustahil.


Pertama, semua elf di desa membenciku.


Kedua, aku tidak pernah melihat ras manusia.


Dan sebagai elf termuda di desa, memangnya apa yang bisa kuperbuat?


“Ibu tahu kamu mungkin tidak bisa memahami perkataan ibu, tapi ibu akan terus menceritakan banyak hal di sini. Selain permintaan tadi, ibu juga ingin kamu mencari tahu asal dan keberadaan Elf Merah Marun lain.”


Aku memahami perkataan ibu. Tapi aku tidak paham maksud dari ‘mencari asal dan keberadaan elf lain’. Aku menarik kesimpulan: tidak hanya ada ras elf, tapi juga ada ras manusia, dan ras elf hidup tersebar.


“Cailean--maksud ibu ayahmu, dia adalah seorang petualang hebat yang sudah berpetualang ke banyak tempat. Dia pernah menceritakan kalau di dunia luar sana terdapat banyak sekali ras lain. Dia sudah banyak sekali melihat berbagai bangsa elf...”


Cailean? Itukah nama ayahku? Aku merasa sedikit bahagia setelah mengetahuinya.


“Dia berkata bahwa sebutan asli untuk Elf Merah Marun sebenarnya adalah Elf Pedalaman atau Elf Hutan. Dinamai begitu karena kita hidup di dalam hutan. Dia juga berkata kalau Elf Pedalaman memiliki kemampuan seperti hewan liar, dan ibu rasa itu benar.”


Begitu, jadi kami adalah Elf Pedalaman. Maksud dari ‘hewan liar’ yang disebut ibu kurasa adalah kemampuan berburu, kelincahan, melihat dalam gelap, tubuh yang kuat, dan kemampuan lain yang kami punya.


“... Ayahmu juga berkata bahwa Elf Pedalaman bisa menggunakan sihir. Atas izin roh angin Sylphy, kita bisa menggunakan sihir angin. Sylphy adalah salah satu dari empat roh agung, dia kerabat dekat dewi hutan Diana yang selalu disembah oleh Elf Merah Marun. Untuk yang satu ini memang benar, namun yang bisa menggunakan sihir hanya nenek kamu yaitu nenek Thifanni.”


Ibu menggendongku kembali dan mulai menyuapiku bubur hangat dengan tekstur yang penuh, tidak banyak airnya tapi malah banyak daun, sedikit tekstur buah yang hancur, dan sesuatu yang lembek.


“Waktu ibu tidak banyak, jadi ayo makan dan ibu akan lanjut bercerita.”


Sup ini memiliki banyak isi, namun aku hanya merasakan rasa manis dan sedikit panas.


Oh iya, benar. Semua elf di desa selalu mengucapkan nama ‘Diana’ ketika mereka sedang senang, sulit, dan hampir setiap hari mereka memohon sesuatu pada Dewi Diana.


Aku tidak pernah melakukannya karena Dewi Diana ini tidak pernah memberikan berkahnya padaku… Namun setidaknya sekarang aku akan berterima kasih padanya karena telah diberi kesempatan untuk bertemu dengan ibuku, ini adalah perbuatan Dewi Diana, kan?


“Liz, ibu akan memperlihatkan barang peninggalan yang sangat penting bagi ayah. Tunggu sebentar, nak, ibu akan ambilkan. Ibu harap kamu mau memakainya di masa depan.”


Sup-nya sudah habis, ibu sekali lagi mengembalikanku ke tempat tidur. Setelah itu dia pergi keluar sambil membawa nampan mangkuk kosong dan nampan yang habis dipakai.


Aku penasaran benda macam apa yang ditinggalkan oleh ayah, kurasa itu sebuah benda yang bisa dipakai. Ibu cukup lama perginya, aku jadi semakin penasaran apa yang akan dia bawa.


Brak!


Itu adalah sebuah suara benda tumpul berat yang terjatuh mengenai lantai.


“Ah!”


Suara ibu!


“Loreen, kali ini apa yang coba mau kamu perbuat?!”


“A-aku hanya ingin menunjukkan ini pada Liz…”


Loreen? Apakah itu nama ibuku? Di luar sana juga terdengar suara seorang elf pria yang sedang marah. Suara elf pria yang sangat besar itu terasa tidak asing di telingaku. Kenapa dia membentak ibu?


“Apa kamu yakin tidak akan menggunakannya untuk bunuh diri supaya bisa lari dari hukuman?! Diriku tidak akan memaafkan itu, meskipun kamu adalah kakakku sekalipun!”


‘Kakak’? Suara itu…


“Bu-bukan begitu! Aku sangat menyayangi Liz, tidak mungkin aku melakukan itu. Tolonglah, adikku Arcnes, aku mau Liz melihat benda ini…”


Benar. Itu adalah suara Arcnes, anak kedua nenek, bisa dibilang dia adalah pamanku. Dan suara wanita yang mulai menangis itu pasti suara ibuku. Apa yang sedang terjadi di sana?


“Baiklah, kalau begitu berjanjilah kamu tidak akan kabur. Dan juga biarkan diriku ikut menemani...”


“Ya, aku berjanji. Makasih, Arcnes.”


Krek.


Suara pintu terbuka, dan di sana muncul ibu yang sedang memeluk sesuatu di depan badannya. Di sana juga ada Arcnes yang mengikuti dari belakang, aku tidak bisa melihat jenggotnya tapi aku bisa melihat jelas wajahnya.


Kenapa hanya wajah ibu yang tidak terlihat? Apa karena aku tidak mengingatnya?


“Liz, ini adalah benda kesayangan ayahmu, benda ini adalah saksi bisu yang telah menyaksikan petualangan hebat Cailean si Burung Merpati--seseorang yang sudah banyak berkunjung ke tempat-tempat berbahaya sendirian dan dapat kembali hidup-hidup…”


Kata ibu yang sedang duduk di kursi dekat tempat tidur. Kamar ini dari awal memang agak gelap, jadi aku tidak dapat melihat dengan jelas benda yang dimaksud itu.


Srek…


Ibu menarik sesuatu dengan kedua tangannya secara perlahan.


Ting!


Itu adalah bunyi yang dihasilkan ketika dua buah pisau saling dipukulkan. Aku bisa melihatnya, kedua benda panjang yang dipegang oleh ibu sedikit memantulkan cahaya.


“Liz, ini adalah Tyrfing, sepasang pedang yang selalu berada di dekat ayahmu.”


Pedang adalah sebuah benda tajam yang panjang dan kuat. Pedang adalah benda mewah di desa elf karena nenek bilang jumlahnya sedikit, jadi hanya diberikan kepada Elf Penjaga.


Karena barang mewah, elf lain hanya diberikan pisau atau sebuah tombak. Bagiku pedang sangatlah keren, bentuknya lebih panjang dan kuat dari pada pisau, sangat gagah dan berat.


Aku pernah mencoba menyentuh satu pedang yang ada di rumah, dan seketika aku langsung memikirkan bagaimana cara elf mendapat bahan dan membuat benda berkilau seperti itu.


“Tyrfing merupakan nama gabungan dari dua buah pedang kecil. Kalau digabungkan, kedua pedang kecil ini memiliki lebar dan berat yang seperti pedang biasa. Yang terlihat panjang ini bernama Dvalin dan yang lebih pendek bernama Durin.”


Aku mulai bisa melihatnya dengan jelas. Ibu memegang kedua pedang berwarna perak itu di kedua tangannya. Aku tidak yakin apa itu bisa disebut pedang sebab tidak terlalu lebar, namun memang lebih panjang dari pisau dan kedua sisinya terlihat tajam.


“Dulu Cailean menggunakan Dvalin di tangan kiri dan Durin di tangan kanannya. Walaupun terlihat cantik dengan motif timbul berbentuk seperti akar yang menjalar, pedang ini telah--”


“Membunuh banyak elf… Juga manusia, dan kemungkinan makhluk dari ras lain.”


Ibu dan aku sama-sama terkejut ketika Arcnes menyerobot masuk ke dalam pembicaraan. 


Arcnes juga merebut kedua pedang itu dari tangan ibu, lalu dia mendekati tempat tidur dan merendahkan kepalanya untuk melihatku. Penglihatanku tidak terlalu jelas untuk melihat ekspresinya.


“A-Arcnes…”


“Dengarkan wahai keponakan diriku, Liz. Saat Perang Ras terjadi, ayahmu Cailean si keparat itu memimpin ras manusia untuk menyerang para elf dari bangsa kita, bahkan dia juga banyak membunuh rasnya sendiri. Dia juga mengajak ibumu untuk berkhianat!”


“Tidak! B-bukan begitu, Arcnes…”


“Apanya yang ‘bukan begitu’?! Perihal bahwa Cailean telah membunuh elf maupun manusia adalah sebuah fakta, dan karenanya juga dia telah membuat dirimu melanggar hukum elf di mana kita tidak diizinkan berhubungan dengan ras lain.”


Arcnes semakin marah, sedikit kerutan di wajahnya mulai terlihat dan genggaman tangannya semakin terasa erat. Ibu yang tadi hendak membantah perkataan Arcnes, sekarang hanya bisa tertunduk lemas.


“Dengan pedang ini… Dengan pedang ini Cailean membunuh dan memojokkan para elf hingga tiba di hutan ini. Diriku ikut dalam peperangan. Diriku melihat banyak elf mati di tangan si keparat itu, dengan sangat lincah dia menusukkan pedang ini ke badan para elf.”


Aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Perang Ras? Ayahku membunuh para elf? Dan bahkan manusia yang merupakan rasnya sendiri?


Kerutannya berubah menjadi senyum masam. Dia seperti habis membicarakan suatu fakta yang kelam, dan itu tidak nampak seperti sebuah kebohongan.


“Dengar, Liz. Saat itu ayahmu memang membunuh banyak manusia dan elf, namun itu semua ada alasannya. Ayahmu terpaksa melakukan itu untuk menghilangkan orang yang menjadi pemanas yang menyebabkan perang…”


“Hah, kau selalu berkata seperti itu, wahai kakakku.”


“Saat itu ibu dan ayah tidak menemukan solusi lain. Ayahmu terpaksa membunuh para bangsawan dan petualang yang mendukung perang. Saat itu ibu dan ayah benar-benar saling mencintai, kami menginginkan perdamaian. Dan ketika ibu mengandungmu, baik elf maupun manusia mengincar kami… Mereka ingin membunuh kita bertiga.”


Suara ibu yang sebelumnya terasa pelan kini menjadi keras dan bergetar di beberapa saat. Ibu mendekatkan kursinya, menggunakan tangan kanannya ibu mengusap kepalaku dan menggunakan tangan kiri untuk mengusap air mata.


“... Saat itu ayah merasa sangat marah dan demi melindungi ibu, dia terpaksa melakukan itu.”


“‘Terpaksa’?! Diriku tidak melihat sesuatu yang terpaksa ketika itu terjadi. Pertama, penyebabnya adalah kalian berdua yang telah melanggar hukum untuk tidak berhubungan dengan ras lain. Jadi wajar saja kalau kedua ras mengincar kalian. Cinta kamu bilang?! Kalian hanya orang tersesat yang melakukan hal tabu!”

Ibu menangis semakin kencang, dan suara amarah Arcnes semakin menggema.


“Dan kalian hendak menggunakan anak tak berdosa ini untuk melanjutkan impian tidak jelas kalian, kan? Atau kalian ingin menggunakan Liz untuk membalaskan dendam kalian? Sudahlah, diriku akan pergi sekarang.”


Arcnes membanting pedang milik ayah ke lantai lalu berjalan mendekati pintu. Brak! Adalah suara yang dihasilkan pintu ketika Arcnes menutupnya dengan keras.


Huft… Liz, maafkan ibu. Maafkan ibu. Ibu dan ayah seharusnya tidak melibatkanmu, kami sangat menyayangimu, Liz. Ibu tidak meminta hal yang disebutkan Arcnes tadi. Ibu hanya ingin kamu hidup sesuai kemauanmu, meski begitu ibu tetap ingin kamu membuat elf dan manusia jadi rukun.”


Setelah mengatakan itu ibu memasukkan kedua pedang tadi ke dalam sarungnya dan meletakkannya di sampingku. Ibu sekali lagi tersenyum dan kembali mengusap kepalaku.


Melihat aku yang telah hidup selama 17 tahun ini, kurasa aku memang tidak bisa melakukan apa yang ibu minta. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau aku tiba-tiba berbicara omong kosong mengajak para elf untuk rukun dengan manusia.


Mungkin mereka akan langsung membunuhku di tempat.


Rencana untuk manusia aku tidak memikirkan apapun. Aku belum pernah sekalipun bertemu dengan mereka, dan kalaupun bisa bertemu pasti mereka juga akan melakukan hal yang sama.


Memikirkan semua itu membuat kepala kecilku sakit dan tubuhku jadi memanas. Entah apa yang terjadi penglihatanku semakin terpulihkan, namun wujud ibu dan kamar ini semakin memudar. Aku berulang kali mengedipkan mata.


Dan ketika aku aku mendapatkan kembali penglihatanku…


“Wah! Hah, hah, hah. A-apa yang terjadi?”


Aku terbangun, duduk, lalu melihat kedua tanganku yang basah penuh keringat. Menggunakan kedua tangan, aku meraba setiap bagian-bagian tubuhku mulai dari kepala, badan, dan kaki. 


Tidak lupa juga meraba tempat aku duduk. Tekstur keras dan tidak asing.


Ini adalah pohon dan bukan kamarku!


“Apa yang terjadi? D-di mana ini…?!”


Dug!


Kepalaku terbentur sesuatu ketika aku hendak berdiri. Sekali lagi aku menajamkan mata dan melihat ke depan. Sepertinya aku sedang berada di sebuah lubang yang berada pada batang pohon besar.


Di bagian depan terdapat sebuah lubang besar seperti pintu. Aku merangkak maju untuk melihat keluar. Langit sudah gelap, namun badanku merasa kepanasan dan banyak keringat mengalir.


“Hm?”


Kaki kiriku menyentuh sesuatu yang bukan kayu. Benda ini memiliki tekstur permukaan yang lembut namun panjang, keras dan berat. Karena hawa panas aku tidak bisa berpikir jernih, tapi kurasa aku kenal dengan benda ini.


“I-ini, kan… Pedang milik ayah!”

Menggunakan tangan kanan, aku menarik pedang yang lebih pendek. Batangnya sedikit lebih besar dari pisau, dan tidak hanya mengkilap, pedang ini juga memiliki motif timbul berupa retakan? Akar yang terlilit? Pohon yang bercabang?


Entahlah.


Tapi yang pasti motif itu terdapat di kedua bagiannya. Setelah kutelusuri dari atas, aku menemukan gambar timbul berupa burung yang mengepakkan sayapnya dan burung itu menghadap kiri.


Di mulutnya, burung itu menggigit dasar dari motif retakan tadi. Aku buka pedang satunya yang lebih panjang, dan hasilnya sama. Hanya saja gambar burung di sini menghadap ke kanan.


Yang terlihat panjang ini bernama Dvalin dan yang lebih pendek bernama Durin


Tiba-tiba suara nenek melintas di kepalaku.



“I-itu kan seharusnya suara ibu…! Kenapa malah suara nenek?!”


Tunggu dulu. Apakah berarti di mimpi itu bukan ibu yang berbicara tapi aku hanya mengingat perkataan nenek? Tapi kenapa aku membayangkan sosok ibu?


“Benar juga. Berbicara tentang nenek, di mana dia sekarang?”


Aku melanjutkan merangkak maju dengan tangan kanan menyeret pedang tadi. Setelah berkedip berkali-kali, aku tetap tidak percaya tentang apa yang sedang terjadi.


Hutan hijau yang selalu kulihat di siang hari akan berubah menjadi hitam ketika malam, seharusnya begitu. Tapi sekarang sepertinya tidak begitu. Ada yang tidak biasa.


“A… Api?!”


Apa yang terjadi?


Hutan yang dipenuhi pohon hijau kini telah dilahap oleh api yang sangat besar. Aku melihat banyak bara api berterbangan dan pohon yang berjatuhan. Asap yang dihasilkan terlihat sangat lebat walau angin terus menghempaskannya.


Karena angin itu juga, api dengan cepat mengenai dan menghanguskan pohon lain. Kurasa karena inilah aku merasa kepanasan sampai-sampai seperti mandi dengan keringat.


Tidak hanya dipenuhi pohon, tapi juga dengan api, asap yang lebat, dan panas yang membakar. Karena itu aku tidak bisa memastikan di mana posisiku sekarang ini.


“Lux! Lux, di mana kamu?! Kemarilah Lux, aku membutuhkanmu!”


Aku meletakkan pedangnya di bawah dan mulai berdiri sambil meneriakkan nama Lux. Aku ingin dia cepat kemari selagi aku masih bisa bergerak dan meminta tolong untuk menunjukkan arah kembali ke desa.


Sama sekali tidak ada respon atau tanda-tanda keberadaan Lux. Tubuhku sudah benar-benar kelelahan. Aku juga mulai kesulitan bernafas. Sial, di mana ini sebenarnya?


Setelah beberapa saat, aku merasakan kehadiran seseorang yang diikuti dengan suara rumput yang terinjak. Aku yakin itu memang bukan Lux, tapi setidaknya mungkin aku bisa tenang.

 

“H-hei…! Tunggu sebentar, kumohon!”


Aku melihat ke bawah sambil memanggil orang itu yang jaraknya tidak jauh dariku. Badan besarnya berjalan tertunduk dengan hati-hati. Pakaiannya gelap dan menggunakan penutup kepala.


“Hei, yang di sana… Eh?”


Pedang yang aku taruh di bawah tidak sengaja tergeser dan mulai terjun ke bawah, dan ternyata tali pengikat yang digunakan untuk mengikat pedang di tubuh itu terletak tepat di bawah kaki.


Tubuh kecil yang sudah kelelahan ini tidak cukup kuat untuk menahan beban pedang itu.


“Aaahhhhhh….!”


Bersama pedang itu yang menarik ke bawah, aku juga ikut terjun setelah gagal mencoba berpegangan dengan kedua tangan pada batang pohon tempat di mana tadi aku berdiri.


Orang yang tadi aku panggil, ia akhirnya tersadar dan menengok ke arahku dengan cepat. Setelah sekilas aku melihat wajahnya, aku langsung terjatuh menghantam akar pohon.


Dari yang kulihat, dia adalah seorang pria. Rambutnya pendek, badan kekar, ekspresi wajah terkejut, kulit dan matanya berwarna coklat, juga sepasang telinga pendek. Dia bukan elf!


Apakah itu manusia? Tidak tahu. Setelah terjatuh, aku merasa seperti tertidur secara tiba-tiba.


BAGIAN 2: Penebusan dan Hukuman


Udara panas yang semakin menyengat, kepala dipenuhi berbagai pertanyaan, dan nafas mulai sesak karena kerumunan. Walau pohon-pohon menghasilkan oksigen, tapi entah mengapa tiba-tiba mereka semua merasa sesak dan membuatnya menjadi sulit berpikir.


“A-anu, Tuan Arcnes. Mohon maaf, saya tidak mengerti--”

“Memang. Kamu memang tidak mengerti, Rhafi. Diriku baru akan menjelaskannya sekarang. Diriku berharap kalian fokus mendengarkan.”


Berdiri di bawah atap teduh pepohonan ternyata tidak senyaman itu. Udara panas tetap terasa menyengat, setidaknya di desa Quessir ini. Kerumunan elf berkumpul di depan sebuah panggung. Orang yang berdiri di panggung berbicara dengan tegas dan menarik nafas dalam membuat suasana semakin berat.


“Dewi Agung Diana sebagai penguasa hutan dan segala kehidupan di dalamnya telah banyak memberi nikmat pada kita suku Elf Merah Marun. Dia telah menyuburkan hutan, memberi kita tempat tinggal, makanan, dan tempat berlindung. Namun sudah saatnya bagi dia untuk mengakhiri kenikmatan tersebut.”


Diana adalah makhluk tertinggi atau penguasa yang bisa disebut sebagai ‘Dewa’. Diana merupakan Dewi kesuburan, ia menyuburkan tanah dan hutan sehingga para elf bisa tinggal dan bertahan hidup di dalamnya. Sebagai rasa terima kasih, para elf menyembah dan selalu memanjatkan doa kepadanya.


Keberadaan Dewa merupakan sesuatu hal yang tak berwujud dan tak terlihat. Tidak ada satupun yang pernah bertemu, melihatnya, ataupun mendengar suaranya. Namun para elf percaya akan keberadaannya.


Tidak ada satupun juga makhluk yang mampu membuat hutan yang besar ini. Para elf yakin ini adalah perbuatan makhluk yang melebihi mereka, dan itu pantas untuk disembah.


“Sebelum Perang Ras terjadi, kita para elf dari awal memang sudah diberi hidup oleh hutan. Ketika Perang Ras dimulai, kita bahkan bisa unggul dengan memanfaatkan pengetahuan kita tentang hutan. Hutan memberi kita hidup, dan hutan telah melindungi kita.”


Arcnes juga menjelaskan bagaimana para elf juga hidup dengan sesuatu yang ada di dalam hutan, seperti bisa menyantap daging binatang dan air berlimpah dari aliran sungai yang tidak pernah berhenti. Tidak ada satupun elf di posisi penonton yang memalingkan mata.


“... Namun, itu semua sepertinya akan berakhir. Diriku dan para Elf Penjaga lainnya melihat sendiri bahwa harta air yang tidak terbatas kita sudah berhenti mengalir! Gundukan besar di sana telah memuntahkan isinya dan membuat aliran air terhenti.”


Arcnes menunjuk ke atas. Awalnya para elf bingung, sebab benda yang ditunjukkan oleh Arcnes hanya atap dari panggung. Namun dengan kata ‘gundukan’, mereka langsung paham maksudnya. Benar, gundukan itu adalah gunung yang berada di belakang desa.


“‘Memuntahkan’ maksudnya seperti apa, Tuan Arcnes?” salah seorang elf bertanya.


“Bebatuan yang kita ketahui hanyalah benda mati dan tak berbahaya. Namun setelah dilewati oleh ‘muntahan’ yang keluar dari gundukan, mereka berubah menjadi terbakar, setiap gerakannya diikuti banyak asap, membakar segala yang disentuh, bahkan air langsung menguap ketika tersentuh.”


Semua elf yang mendengarkan langsung membuat wajah takut. Bukan hanya karena mendengar cerita dari Arcnes, mereka juga secara bersamaan terhubung mengingat suara berisik yang pernah terjadi beberapa hari lalu di desa ketika siang hari.


Kejadian itu belum lama, baru sekitar 3 hari yang lalu terjadi. Setelah kejadian itu, hawa panas mulai menyerang desa, dan buruknya lagi para Elf Penjaga juga meminta kepada semua elf untuk menghemat air.


Segala air yang dipakai oleh para elf diambil menggunakan bak besar dari rumah nenek Thifanni. Air itu berasal dari sungai yang berada cukup jauh dari rumah nenek.


Setiap satu minggu, banyak elf pria menyeret bak besar yang terbuat dari kayu itu menuju rumah nenek, sesampainya di sana adalah tugas para Elf Penjaga yang menariknya hingga mendekati sungai dan mengisinya dengan susah payah lalu dikembalikan lagi untuk digunakan para elf.


Kini sungai itu telah berhenti mengalirkan air karena jalurnya telah tertutup bebatuan yang terdorong dari puncak gunung. Airnya benar-benar mengering sebab bebatuan itu terus saja berjatuhan.


“Kami para Elf Penjaga tidak bisa menghentikan aliran panas itu. Muntahan itu juga sedikit demi sedikit mulai membakar sesuatu yang ada di sekitarnya. Diriku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa…”


Arcnes tertunduk.


“Tuan Arcnes. Apakah ‘muntahan’ ini akan memenuhi desa?”


“Diriku merasa itu memang akan terjadi. Kami para Elf Penjaga juga sudah berdiskusi dan sepakat berpendapat kalau desa kita akan dilahap habis,” kata Arcnes sambil melihat saudara-saudaranya.


“K-kalau begitu, kita bisa pindah ke tempat lain...” usul salah seorang elf di belakang.


“Pendapat yang bagus. Namun apakah kita bisa hidup aman di tempat lain? Para elf yang biasa berburu, apakah kalian pernah melihat sumber air lain?”


“Tidak pernah, Tuan Arcnes…” jawab beberapa elf pria secara bersamaan.


“Begitulah. Tanpa sumber air, kita tidak akan bisa hidup.”


Keheningan total terjadi hingga bisa terdengar jelas suara hembusan angin, daun-daun pohon yang bersentuhan, kicauan burung-burung yang bertengger di banyak pohon, dan bahkan suara detak jantung pun mungkin dapat terdengar.


Mereka semua menyadari bahwa hidup tidak hanya tentang makan dan beristirahat, tapi juga membutuhkan air. Tanpa air, mereka tidak akan bisa hidup, begitu juga dengan para hewan. Akhirnya mereka menyadari alasan kenapa hewan liar semakin sedikit.


Udara panas dan tidak adanya sumber air.


“Seandainya kita berpindah, diriku justru merasa telah mengkhianati perjuangan sahabat elf kita terdahulu yang telah berjuang untuk mempertahankan hutan dan akhirnya membangun desa ini…”


Mereka semua mengingat kejadian Perang Ras. Dalam perang itu manusia telah menyudutkan elf hingga ke sini. Mereka telah sangat mencintai lingkungan ini.


Tidak mungkin mereka akan meninggalkannya begitu saja. Ini adalah tempat di mana mereka bisa hidup damai dan berkeluarga. Dewi Diana juga telah memberikan berkatnya untuk menghidupi mereka.


Tidak mungkin mereka akan lari dan mengkhianatinya.


“Dan diriku juga merasa kalau ini adalah hukum untuk kita karena sudah kasar pada Liz.”


“Eh?”


“Dewi Diana adalah makhluk agung yang menghidupi semua makhluk yang ada di hutan. Dia adalah makhluk agung, namun tidak pernah memandang rendah siapapun itu orangnya, bahkan Liz. Liz bisa hidup dan tumbuh besar juga karena menerima berkat darinya. Apa diriku salah?”


Semua elf yang menonton langsung menundukkan kepalanya.


“T-tapi, Tuan Arcnes, Liz adalah makhluk setengah manusia…” kata seorang elf dengan nada rendah.


“Lalu kenapa? Apakah Dewi Diana marah? Menurut diriku tidak, karena lihatlah Liz bisa tumbuh hingga sekarang. Kalau Dewi Diana marah, maka amarahnya itu akan langsung merebut nyawa Liz.”


Liz adalah seorang elf termuda di desa yang merupakan keturunan dari elf dan manusia. Ibu Liz adalah seorang elf bernama Loreen, dan ayahnya adalah manusia bernama Cailean. Liz terlahir sebagai hasil hubungan terlarang dari dua ras berbeda.


Sebagai hasilnya juga, Liz memiliki telinga yang lebih pendek daripada elf lain dan karena ada darah manusia yang mengalir, Liz memiliki tubuh yang cukup tinggi untuk elf yang sangat muda umurnya.


Walau selalu diperlakukan buruk, Liz tidak patah hati dan tetap bisa tumbuh dengan sehat, berarti Liz memang benar-benar diberkahi oleh Dewi Diana. Begitulah yang dipikirkan para elf.


“H-hey, Rhafi! Ke mana perginya Liz?! Bawa dia kemari, cepatlah! Kita akan meminta maaf sehingga Dewi Diana bisa memberikan ampunan!”


Seorang elf yang berada di dekat Rhafi memegang erat tubuhnya dan menggoyangkannya.


“Sudah terlambat… Itu akan sia-sia. Dewi Diana adalah makhluk agung yang telah memberikan banyak kesabaran, sampai bertahun-tahun dan kita menghiraukannya. Kurasa inilah batasannya.”


Liz sudah dibenci sejak ia lahir dan sekarang sudah 17 tahun berlalu.


“Jadi dengan ini, diriku yang mewakili Elf Penjaga dan nenek Thifanni ingin kalian berikan perlakuan baik pada Liz di malam nanti. Kita akan mencoba menebus dosa walau hanya sebentar…”


Para elf mulai mengangkat wajah mereka setelah mendapat sedikit harapan.


“... Lalu setelah itu kita akan memindahkan Liz ke tempat yang sangat jauh, dan biarkan dia hidup, mendapatkan kebebasannya.”


Semua elf saling memandang dan menganggukan kepala, yang berarti mereka setuju untuk memanjakan Liz di malam ini sampai ia tertidur lalu memindahkannya tanpa sadar ke tempat yang sangat jauh.


Dengan begitu mereka bisa menebus sedikit dosa dan  membawa Liz ke tempat yang jauh supaya ia bisa selamat dan hidup dengan bebas adalah sebagai ganti karena selama hidupnya di desa anak itu selalu dimusuhi. Rencana ini akan dilakukan ketika hari menjadi gelap dan Liz pulang ke rumah.


~~~


Malam hari tiba di Desa Quessir.


Tanpa adanya cahaya matahari, suasana gelap dan sepi menyelimuti hutan. Namun tidak dengan di dalam desa tempat para Elf Merah Marun tinggal. Di sana suasananya ramai dan tercium aroma harum masakan di sepanjang jalannya.


Biasanya ketika di malam hari, para elf mulai masuk ke dalam rumah mereka dan hanya beberapa elf pria yang berada di sekitar untuk melakukan tugas berjaga di malam hari.


“Hey, boca--Liz! Cepatlah masuk, nenek sudah menunggumu!”


Suara teriakan yang berasal dari pintu masuk desa itu menarik perhatian para elf. Mereka yang sedang berdiri sendirian di depan rumahnya atau yang sekedar berkumpul sambil mengobrol mulai berjalan mendekat ke arah suara itu.


“Liz! Hey, tunggu!”


Tanpa pedulikan namanya dipanggil, gadis elf itu terus berlari. Arah lari dan matanya memang melihat ke depan, namun pikirannya seperti berada di tempat lain. Gadis itu bingung karena ini pertama kalinya nama ia disebut oleh elf lain.


“Liz sayang, kamu sudah pulang?”


“Hai, Liz.”


“Liz, nenek menunggumu.”


“Liz, kamu pulang telat lagi hari ini.”


“Liz, kamu sudah makan?”


Sapaan akrab tanpa henti yang terus menghujaninya membuat Liz semakin bingung dan ketakutan. Walau sudah berlari sekuat tenaga, tempat yang ia tuju terasa sangat jauh hingga akhirnya ia merasa kelelahan.


Brak!


Terdengar sebuah benda tumpul yang terjatuh di atas tanah. Itu adalah suara tubuh Liz yang terjatuh, dia tidak bisa lagi menahan dirinya dan berakhir pingsan ketika sedang berlari.


“Ah, Liz!”


“Liz sayang, kamu tidak apa-apa?!”


“Hey, kalian! Cepat bantu Liz.”


Para elf yang berada di dekatnya langsung berkumpul, bahkan kedua elf yang sedang berjaga ikut bergabung dengan kerumunan. Salah satu dari penjaga pintu masuk itu adalah seorang pria dengan badan yang kekar.


“Rhafi, cepat angkat dan bawa Liz ke rumah nenek.”


Sambil menggendong Liz dengan kedua tangan di bagian depan, Rhafi berlari meninggalkan kerumunan para elf tadi. Rasa cemas dan bingung memenuhi kepalanya ketika ia sedang berlari.


Sementara itu di kerumunan elf, “H-hei, bukankah ini gawat?”


“Benar juga. Kita ingin menebus dosa tapi Liz-nya sendiri malah pingsan!”


“B-bagaimana ini?!”


Seperti yang sudah disepakati tadi, para elf dari desa Quessir ingin menebus dosa mereka kepada Liz dengan memanjakannya ketika malam hari. Sekarang langit sudah gelap dan Liz sudah pulang.


“H-hei, teman-teman. Bagaimana kalau menulis satu surat permintaan maaf yang mewakili kita semua? Kalian juga sudah menyiapkan masakan, kan? Mari kita bawa itu ke rumah nenek dan biarkan Liz menyantapnya.”


Menulis surat permintaan maaf dan memberikan makanan, itu adalah rencana yang terpikirkan oleh Supma, rekan yang tadi sedang berjaga dengan Rhafi.


“Tapi apa Liz bisa memahami tulisan?”


Usulan penuh harapan itu akhirnya dipatahkan oleh satu pertanyaan.


“Aku pernah melihat Liz keluar dari desa sambil membawa papan penuh coretan, kurasa itu tulisan! Dan pasti nenek sudah mengajarinya…”


“Baiklah, kalau begitu salah seorang dari kita harus menulis surat dan yang lainnya mengumpulkan makanan lalu membawanya ke rumah nenek.”

Setelah rencana itu disepakati dan perannya sudah terisi, kerumunan itu pun dibubarkan. Dengan cepat dan tergesa-gesa mereka menyiapkan segala yang dibutuhkan sambil terus memohon ampun pada Dewi Diana.


~~~


Malam hari, jalan menuju rumah kepala desa.


Terdengar suara langkah kaki dan nafas terengah-engah yang cepat. Seseorang sedang berlari menuju rumah nenek Thifanni. Sebagai elf yang menjaga gerbang rumah, Shiva menyadari itu dengan cepat.


Shiva menerapkan kuda-kuda bertahan dengan cepat dan mengarahkan tombaknya ke depan.


“Siapa di sana?!”


“T-tuan Shiva! Ini Rhafi, aku datang membawa Liz…”


“Liz… Hei, apa yang terjadi?!”


Shiva langsung mendekati Rhafi dengan cepat untuk melihat dan langsung merebut Liz. Setelah itu Rhafi menjelaskan semua yang terjadi dengan nafas lelah.


“Begitukah… Baiklah, sampai sini biar aku Elf Penjaga yang akan membawanya.”


Setelah menerima perkataan itu, Rhafi berjalan menjauh kembali ke desa.


Shiva adalah adalah anak keempat dari nenek Thifanni, tubuhnya memang lebih pendek dan tidak memiliki banyak aura kewibawaan seperti Arcnes, tapi dia juga keluarga nenek yang berarti adalah salah satu dari Elf Penjaga.


“Saudaraku! Ibu! Aku datang membawa Liz yang pingsan,” kata Shiva dari dekat pintu masuk.


“Shiva, kenapa teriak begitu… Liz?! Apa yang terjadi padanya?”


“Kak Arcnes, ceritanya akan panjang. Lebih baik kita bawa dia menemui nenek.”


Di dalam kamar yang cukup besar, di atas tempat tidur terdapat Liz yang sedang terlelap dan nenek Thifanni yang duduk di pinggiran tempat tidur. Di sana juga ada Arcnes yang berdiri tegak sambil memegang sebuah pedang.


Sambil mengusap kepala Liz dan tanpa mempedulikannya walau ia sedang tertidur, nenek Thifanni membuka mulutnya untuk berbicara. “Dulu anakku tercinta, Loreen, pasti sudah menceritakan ini padamu, cucukku Liz.”


“Sambil terlelap di dalam mimpi, biarkan nenek menceritakan ulang…”


Arcnes melangkah ke depan dan memberikan pedang itu pada nenek, dan dengan periode lambat mata nenek mulai berubah menjadi hijau menyala. Kamar yang tadinya tenang kini mulai seperti dimasuki banyak angin.


Angin yang lambat ini mulai memenuhi dan mengelilingi kamar hingga membuat kain atau benda-benda ringan lain berterbangan. Nenek menggunakan tangan kiri untuk menopang pedang dan menggunakan tangan kanan untuk memegang kening Liz.


Angin yang tadinya bertiup tanpa arah kini mulai berkumpul di sekitar nenek. Arcnes hanya bisa terdiam takjub sambil menjaga postur tubuhnya agar tidak terpengaruhi oleh angin.


“Liz, ini adalah benda kesayangan ayahmu, benda ini adalah saksi bisu yang telah menyaksikan petualangan hebat Cailean si Burung Merpati--seseorang yang sudah banyak berkunjung ke tempat-tempat berbahaya sendirian dan dapat kembali hidup-hidup…”


Nenek membuka mulutnya dan mulai berbicara, namun bukan dengan suaranya yang sudah kelelahan itu tapi menggunakan suara yang lebih muda dan lembut.


“Liz, ini adalah Tyrfing, sepasang pedang yang selalu berada di dekat ayahmu.”


Setiap kata yang keluar dari mulut nenek Thifanni membuat suaranya semakin menjadi lebih muda dan lembut. Mata Arcnes langsung terbuka lebar, dia tidak tahu apa yang sedang terjadi namun dia sangat mengaguminya.


Suara lembut yang keluar dari mulut nenek, Arcnes sangat mengenalnya. Itu adalah suara kakaknya, Loreen.

Comments

Post a Comment