Langsung ke konten utama

Gadis yang Takut Kehilangan Jati Dirinya

Gadis yang Takut Kehilangan Jati Dirinya


Di sebuah tempat yang cukup besar dikelilingi oleh tembok berwarna putih, alas yang empuk dan halus serta suhu yang menyejukkan. Seorang gadis terbangun dari tidurnya dengan wajah yang tampak lelah dan kebingungan. Dia membuka selimutnya, lalu mencoba untuk duduk dan melihat sekeliling.


Alina: “Aku… Di mana ini…? Kamar rumah sakit? Kenapa… Apa yang terjadi? Aku? Aku… Siapa?”


Mina: “Aku masuk–OH! Kamu sudah sadar! Ah… Maaf tiba-tiba teriak. Kamu pasti kaget, kan? Tunggu sebentar ya, aku akan memanggil dokter segera!”


Alina: “Oh. Baju itu…? Jadi ini beneran di rumah sakit…”


Meskipun terkejut, Alina tetap mencoba sekuat tenaga mencerna apa yang dia lihat. Dari arah kirinya ada sebuah pintu dan di sana muncul wanita tadi yang mengenakan seragam perawat berwarna putih.


Mina: “Oh, ya, ini di rumah sakit. Makanya aku mau panggil pak dokternya dulu. Kamu akhirnya terbangun setelah seminggu di sini.”


Alina: “Seminggu?”


Mina: “Pasti melelahkan. Jadi istirahat saja dulu.”


Alina: “Oh, ya, terima kasih…”


Perawat itu berbalik dan berjalan meninggalkan Alina.


Alina: “Percuma, aku… tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi. Siapa aku atau orang seperti aku aku sebelumnya. Di kamar yang besar ini aku sendirian. Kelihatan rapi dan cukup mewah juga, namun aku tidak bisa tenang.”


Alina menarik nafas dalam dan memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Dia sedikit terkejut setelah menyentuhnya, ada sebuah perban yang melingkari kepalanya.


Alina: “Apa yang harus kulakukan mulai dari sekarang? Apa yang biasanya aku lakukan sebelumnya…? Aku baru saja terbangun, aku tidak ingat apapun. Aku, aku takut…! Aku…!”


Mina: “Aku kembali–hei, hati-hati!”


Dengan cepat Mina berjalan untuk menangkap Alina yang terjatuh dari kasurnya.


Alina: “Oh, suster... Terima kasih. Di mana dokternya?”


Mina: “Hahaha, maaf ya ternyata hari ini pak dokter sedang ada jam pemeriksaan harian dengan pasien yang lain. Sebagai gantinya, aku sendiri yang akan memeriksa. Dokter bilang hanya perlu periksa sederhana saja, kok. Secara kondisi fisik kamu sudah jauh lebih baik, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Mungkin besok kamu bisa diperbolehkan pulang. Ops! Maaf, ya, aku bicaranya kepanjangan.”


Alina: “Tidak, tidak apa. Sebenarnya tadi aku hanya ingin menanyakan apa yang telah terjadi… Aku, aku sudah merasa sehat. Tapi, pulang, ya? Aku bahkan tidak ingat apapun…”


Mina membenarkan kembali posisi duduk Alina, lalu dia membuka kertas yang dibawa dan duduk di kursi dekat kasur.


Mina: “Tidak ingat apa-apa, sayangnya memang begitu. Kondisi fisik sudah baik, tapi aku rasa kamu masih perlu menenangkan diri di sini. Kalau mau, aku bisa ceritakan semuanya. Dokter sudah mengizinkan.”


Alina: “Kalau begitu, tolong ceritakan padaku–!”


Mina: “Dokter sudah mengizinkan, tapi keluargamu bagaimana?”


Alina: “Keluarga… Aku rasa, aku ingin tau tentang diriku dulu walau sedikit, sebelum bertemu mereka.”


Mina: “Oke, baiklah… Namamu adalah Alina Liora Gantari, umur 21 tahun, anak dari Tuan Gantari dan Nyonya Liora. Kamu punya seorang adik laki-laki bernama Athaya Putra Liora Gantari. Mereka tidak pernah absen untuk menjenguk. Pada hari Rabu, 19 Januari 2022 lalu kamu dibawa ke rumah sakit ini setelah mobil yang kamu kendarai untuk kuliah mengalami kecelakaan dan menyebabkan benturan kencang di kepala yang menyebabkan kamu mengalami amnesia retrograde, kondisi di mana kamu melupakan kejadian-kejadian di masa lalu. Tapi tenang saja, gejala ini bisa sembuh seiring berjalannya waktu!”


Alina: “Jadi begitu, namaku Alina. Kurasa itu sudah lengkap, suster. Terima kasih banyak.


Mina: “Sekarang kamu sudah mengetahui namamu. Sepertinya aku harus memperkenalkan diri. Aku adalah salah satu perawat di rumah sakit ini, suster Mina. Apa ada lagi yang ingin kamu ketahui?”


Alina: “Suster Mina… Tidak, tidak ada. Informasi tadi sudah cukup. Terima kasih juga karena sepertinya kamu adalah orang yang merawatku di sini. Hanya saja… Hanya saja aku masih takut. Aku tidak tahu bagaimana harus mengisi waktu. Apa yang biasanya aku lakukan, aku tidak ingat. Tidak pernah terpikirkan olehku betapa menakutkannya tidak mengetahui siapa aku yang sebelumnya…”


Tidak langsung memberikan tanggapan, Mina berdiri dari kursi dan dengan lembut dia mendorong Alina ke posisi tidur sambil menutupnya dengan selimut.


Mina: “Banyak orang yang menjengukmu sebelumnya. Kenapa kamu tidak kembali istirahat saja untuk hari ini sehingga besok kamu memiliki energi untuk menanyai mereka tentang dirimu yang lama?”


Alina: “Diriku yang lama…? Benar, kurasa itu pasti akan membantu!”


Mina: “Ya, itu patut dicoba. Beristirahatlah, aku akan tetap di sini sampai kamu tertidur.”


Alina: “Aku akan menemukan siapa sebenarnya diriku yang dulu. Besok… Besok aku akan menemukan jawabannya…”


Alina tertidur dan hari esok pun akhirnya tiba. Alina terbangun di pagi hari, tidak lama kemudian dia mendengar ketukan pintu.


Alina: “Masuklah!”


Mayza: “Hei! Oh, ya ampun, kamu benar-benar sudah sadar! Kamu kelihatan baik-baik saja, kukira akan ada banyak perban yang membungkusmu, hahaha. Ya ampun aku kangen banget, kalau aku peluk tidak akan sakit, kan?”


Alina: "K-kondisi fisikku baik-baik saja…"


Mayza: “Ouhh…! Lena, aku kangen banget!”


Alina: “Oh… Terima kasih banyak sudah datang. Tapi, aku… 'Lena'?”


Mayza: “Ah, ya ampun, ternyata itu benar… Aku Mayza, kita sudah menjadi sahabat sejak SMP, kurasa? Omong-omong, Lena adalah nama panggilan untukmu dariku. Karena itu lebih mudah, singkat dan imut. Hehe.”


Alina: “B-begitu, kah…?”


Mayza: “Tadinya kami semua ingin datang menjengukmu, tapi mustahil membawa orang sebanyak itu dan mereka juga punya kelas pagi hari ini, jadi aku datang sendiri sebagai perwakilan.”


Alina: “Oh… Aku mengerti. Tapi maaf, meski kita bersahabat… Aku, aku tidak bisa mengingatmu. Tapi meski begitu, bolehkah aku bertanya seperti apa aku yang dulu?”


Mayza: “Menyakitkan memang… Tapi tentu saja! Pertama, kamu adalah orang yang sangat rajin, mau itu tentang kuliah atau klub. Baik dari kalangan mahasiswa atau dosen, kamu sangat terkenal sebagai gadis cantik, rajin, dan baik. Aku pun sangat bangga. Hahaha.”


Alina: “I-itu terdengar terlalu sempurna dan menyilaukan. Bisakah kamu mengatakan yang sebenarnya saja?”


Mayza: “Hm? Tapi memang begitulah yang sebenarnya. Aku tidak melebih-lebihkan sedikit pun hanya karena kita bersahabat. Kalau kamu tanya ke teman-teman yang lain kurasa jawabannya akan sama.”


Alina: “Begitukah… M-maaf meragukanmu! Hanya saja, itu terasa terlalu sempurna.”


Mayza: “Hahaha, tidak apa. Aku mengerti, kok.”


Alina: “Tapi aku lega setelah mendengar kalau aku adalah orang yang baik. Namun itu diriku yang lama, aku tidak tau apa bisa kembali seperti dulu…”


Mayza: “Tenang saja, kamu pasti bisa! Aku yakin itu. Kita sudah bersahabat cukup lama juga. Hehe. Ah, sepertinya jam jenguknya sudah habis, ya? Kalau begitu akan pergi.”


Alina: “Terima kasih sudah berkunjung. Datanglah lagi kapan-kapan, Mayza!”


Mayza: “Tentu saja! Cepatlah sembuh, Lena.”


Mayza pergi meninggalkan Alina yang sedang dipenuhi rasa senang dan bersyukur ternyata dirinya yang lama adalah orang yang baik, meskipun dia ragu apakah akan bisa seperti itu lagi. 


Tanpa disadari siang hari pun tiba dan ketukan pintu terdengar kembali.


Alina: “Masuklah!”


Athaya: “A-aku masuk, kak…”


Alina: “‘Kak’? Seragam SMA itu– Mungkinkah kamu…?”


Athaya: “B-begitulah, kita bersaudara. Aku berada di posisi adik.”


Alina: “Sudah kuduga. Jangan hanya berdiri di sana. Kemarilah, silahkan duduk! Tidak perlu gugup di depan kakakmu, kan?”


Athaya: “Oh, baiklah. Kalau gitu, permisi…”


Alina: “Kamu sendirian? Di mana orang tua kita?”


Athaya: “Ayah dan ibu, ya… Maaf kurasa mereka tidak bisa datang hari ini karena pekerjaannya. Mereka juga sedang menyiapkan pesta untuk merayakan kakak yang sudah sadar, mungkin juga pesta untuk menyambut kepulangan kakak. Dokter bilang mungkin besok sudah boleh pulang…”


Alina: “Sayang sekali, kurasa… Tapi aku senang mendengarnya dan terima kasih juga telah datang!”


Athaya: “…”


Alina: “Hm, ada apa?”


Athaya: “Jadi kamu benar-benar tidak ingat apa-apa… Kamu, um… Kamu sangat berbeda dari sosok saudara perempuan yang ku kenal sebelumnya.”


Alina: “Eh? … Memangnya orang seperti apa aku yang dulu?”


Athaya: “Kalau boleh ku katakan dengan jujur… Kamu seperti orang yang kesepian, kak. Tidak banyak bicara ketika di rumah, bahkan tidak banyak menunjukkan ekspresi. Kamu jarang sekali menghabiskan waktu di rumah, k-kurasa itu karena kamu sibuk kuliah sambil bekerja. Seperti kelihatannya kamu menghindari kontak dengan kami, aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali kamu berbicara dengan kami di rumah. Sejujurnya, aku tidak percaya diri untuk menjengukmu hari ini…”


Alina: “Oh…”


Athaya: “Tapi… Mungkin kita bisa berbicara dan menghabiskan waktu lebih banyak mulai sekarang! Bersama ayah dan ibu, tentunya. Tidak hanya di rumah, tapi juga di luar rumah. Tidak hanya aku, pasti ayah dan ibu juga menginginkan kita kembali menjadi keluarga yang sebenarnya, walaupun kita bukan saudara kandung... Ah, maaf berbicara banyak. Aku akan datang lagi boleh kan, kak?”


Alina: “Tentu saj–! A-apa katamu tadi? Kita bukan saudara kandung?”


Athaya: “Ah… Padahal aku ingin merahasiakannya, tapi sepertinya tidak bisa. Ayah telah menjadi orang tua kandungmu sebelum bertemu ibu, lalu mereka menikah dan lahirlah aku. Aku selalu berpikir apakah itu alasanmu menjauhi kami? Aku hanya ingin jawaban, tapi aku tidak berani bertanya meskipun aku ingin sekali dekat denganmu, kak!”


Alina: “Aku tidak mengerti sama sekali… Apa itu diriku yang sebenarnya?”


Athaya: “Maksudnya?”


Alina: “Tidak, hanya saja dari apa yang orang lain–sahabatku tepatnya katakan, aku bukan tipe orang yang menutup diri apalagi sampai menghindari keluarga. Seperti apa diriku yang sebenarnya?”


Athaya: “Aku rasa dirimu yang asli adalah ketika dirimu yang di rumah. Maksudku, untuk apa kamu berpura-pura menjauh? Kalau kamu memang menolak pernikahan orang tua kita, seharusnya kamu bisa katakan dari awal ya, kan?”


Alina: “…”


Athaya: “Aku ingin kamu pulang secepatnya, lalu kita bisa memulai kembali untuk menjadi keluarga yang sebenarnya. Aku sangat menantikan momen seperti itu, kak!”


Alina melambaikan tangan dengan pelan ketika melihat Athaya yang meninggalkan kamar.


Alina: “Ini… Ini sangat tidak mungkin, kan? Maksudku, Mayza mendeskripsikan ku seperti gadis baik yang sempurna namun kenapa aku sangat tertutup ketika di rumah? Bahkan menghindari orang tuaku sendiri, ini tidak mungkin kan? Apakah aku tidak menyetujui pernikahan mereka sehingga aku menutup diri? Tidak, tidak… Ini tidak cocok.”


Suara pintu terdengar lagi diiringi dengan suara orang yang berlari.


Mahendra: “Hah… Hah… Ah, t-ternyata kamu benar-benar sudah sadar! Ya tuhan, aku senang sekali!”


Alina: “Woah– A-apa?”


Mahendra: “Ah, maaf tiba-tiba memegang tanganmu… Karena sekarang aku pasti terlihat sangat asing bagimu. Tapi, yah, aku Mahendra, kita berpacaran. Aku senang kamu sudah sadar dan kelihatan sehat, Lin.”


Alina: “P-pacar?! Aku benar-benar minta maaf, aku sama sekali tidak mengingatmu!”


Mahendra: “Haha tidak perlu meminta maaf begitu, aku juga sudah mendengar semuanya. Kurasa memang menyakitkan, tapi aku akan senang kalau kamu dan hubungan kita bisa kembali seperti dulu lagi. Tenang saja, aku pasti akan menemanimu untuk mendapatkan ingatanmu kembali, Lin.”


Alina: “Seperti dulu... Memangnya aku yang dulu seperti apa? Kamu pasti tahu tentang diriku lebih dari siapapun, kan?”


Mahendra: “Kurasa begitulah… Hm, kamu yang dulu, ya. Kamu menunjukkan sisi yang belum pernah kamu tunjukkan kepada orang lain. Kita mulai berkenalan di tempat kerja, setelah itu menghabiskan banyak waktu bersama. Aku yakin tidak ada yang mengetahui ini, tapi kamu cukup lemah, emosional dan seperti membutuhkanku. Meski aku bilang begitu, nyatanya aku juga sangat membutuhkanmu. Pernyataan cintaku banyak ditolak, namun aku tetap mengejar tanpa menyerah. Hingga akhirnya kita bisa bersama…”


Alina: “…”


Mahendra: “Ada apa?”


Alina: “Oh, tidak ada. Bukan apa-apa…”


Mahendra: “Kamu pasti kelelahan, ya? Wajar saja karena banyak hal terjadi tiba-tiba. Omong-omong, mau makan anggur? Aku bawa buah ini bukan hanya karena untuk menjenguk orang sakit, tapi ini adalah buah yang paling kamu suka. Aku ingat kita pernah bermain game memakan satu ikat anggur berdua, dan yang mendapatkan buah terakhir adalah yang kalah. Haha, momen itu seperti baru terjadi kemarin…”


Alina: “Oh… Jadi aku sangat menyukai anggur, ya. Terima kasih banyak sudah datang dan maaf melupakanmu, pasti sangat menyakitkan. Tapi sepertinya aku yang dulu sangat menyukaimu, meskipun sudah banyak menolakmu pada akhirnya aku yang dulu menerima juga.”


Mahendra: “Haha, aku senang mendengarnya. Tapi aku akan lebih senang kalau dirimu yang dulu bisa kembali. Meskipun telah terlupakan, rasa cintaku tidak akan pernah berubah.”


Alina: “O-oh… Haha, a-aku… Kamu membuatku malu…


Mahendra: “Eh? Apa?”


Alina: “T-tidak, bukan apa-apa. Tapi aku ragu diriku yang dulu bisa kembali. Maaf…”


Mahendra: “Tidak perlu meminta maaf… Dapat memilikimu adalah suatu kebahagiaan yang sangat besar buatku. Kita hanya perlu melakukan hal seperti sebelumnya, jadi dirimu sendiri ketika hanya bersamaku. Kita bisa menghabiskan waktu bersama, aku bisa menemanimu kapanpun, dan aku bisa menjadi yang spesial untukmu…”


Alina: “Terima kasih…”


Mahendra: “Sama-sama. Kurasa aku akan pergi sekarang. Bos tidak bisa memberikan waktu lebih banyak, maaf. Tapi aku akan datang lagi besok, boleh kan?”


Alina: “Tentu saja.”


Mahendra berdiri dari kursinya lalu menata semua anggur yang dia bawa di atas piring dan meletakkannya di atas meja dekat kasur Alina, kemudian dia segera meninggalkan ruangan.


Mina: “Pria tampan tadi pacarmu, kan? Dia datang ketika kamu pertama kali dibawa ke sini, lalu dua hari berikutnya, dan di hari keenam dia juga datang.”


Alina: “Jadi dia benar-benar peduli denganku, aku merasa sangat bersalah.”


Mina: “Apa terjadi sesuatu?”


Alina: “Tidak ada sesuatu yang spesial…”


Mina: “Hei, aku tidak spesifik menanyakan sesuatu yang spesial, loh. Aku menanyakan keseluruhan. Sudah tiga orang datang, kamu pasti sudah mendapatkan jawabannya kan tentang dirimu yang dulu?”


Alina: “Jawaban… Sudah, aku sudah dapat hanya saja aku tidak yakin.”


Mina: “Aku akan duduk di sini mendengarkan sampai kamu tidur, coba ceritakan.”


Alina: “Terima kasih karena selalu menemaniku tidur, sejujurnya aku agak takut di ruangan besar ini sendirian tanpa mengetahui siapa diriku. Tapi hari ini yang seharusnya aku bisa tahu diriku…”


Mina: “Sama-sama, aku hanya melakukan tugas sebagai perawat yang baik, hehe. Kamu sudah mendapat jawabannya, lalu kenapa kamu terlihat tidak semangat begitu?”


Alina: “Aku mendapatkan jawabannya, jawaban yang membingungkan. Mereka bertiga memberiku jawaban yang sangat-sangat jauh berbeda, tapi aku memang yakin mereka mengenalku dengan baik jadi tidak mungkin mereka bohong atau mengarang. Menurutmu, aku harus menjadi seperti apa?”


Mina: (memegang kedua bahu Alina dan menatap wajahnya) “Dengar, menurutku tidak ada seorangpun yang bisa ‘menjadi’ orang lain. Tidak kamu, tidak aku, tidak ada orang yang bisa menjadi orang lain. Kamu hanya bisa menjadi dirimu sendiri. Menjadi orang lain itu absurd, jangan membebani dirimu dengan sesuatu seperti itu.”


Alina: “Tapi aku harus melakukannya, karena aku… Karena aku tidak mempunyai kepribadian sendiri.”


Mina: “Tidak, tidak. Aku memang baru mengenalmu hanya sebentar, tapi aku seperti sudah mengenalmu sejak lama. Jangan meremehkan orang yang sudah merawatmu selama seminggu, aku sudah mengenalmu. Jadi aku tidak mau orang yang kukenal hilang untuk selamanya.”


Alina: “…”


Mina: (melepaskan bahu Alina) “Ingin menjadi seperti orang tertentu memang normal, bagus juga jika kamu memiliki seorang idola atau panutan. Hal ingin menjadi apa dirimu nanti atau ingin seperti apa kamu menjalani hidupmu sendiri, kamu tidak bisa menjadi orang lain. Kamu sendiri yang akan menjalani hidup, jadi tidak ada pilihan selain menjadi diri sendiri ya, kan? Apakah itu membantu?”


Alina: “Ya… Terima kasih, suster…!”


Mina: “Sama-sama! Ah, kalau begini mungkin akan membuatmu menjadi sulit tidur karena memikirkannya. Kalau begitu akan pergi sebentar untuk mengambil cemilan, jadi kita bisa mengobrol banyak malam ini.”


Alina: “Eh~ Apakah boleh seorang perawat membawakan cemilan untuk pasiennya? Hehe.”


Mina: “Tidak apa, tenang saja! Kamu pasti juga ingin mencoba makan lain, kan? Makanan rumah sakit tidak terlalu enak menurutku. Jadi aku akan pergi sebentar untuk mengambil cemilan manis punyaku. Lagipula tubuhmu sudah sehat, kok.”


Alina: “Baiklah. Terima kasih, suster Mina.”


Dengan begitu Mina pergi meninggalkan ruangan. Alina yang sedang sendiri, kini dia menundukkan kepalanya merenungkan apa yang dikatakan oleh perawatnya tadi.


Alina: “Aku yakin semua orang menginginkan aku yang dulu, yah, mereka sudah merasa terbiasa. Aku senang dan terkejut sebab bisa menjadi sosok yang penting bagi mereka. Tapi aku harus memilih untuk menjadi diriku sendiri… Menjadi orang yang aku inginkan…? Menjadi seseorang yang mereka inginkan, untukku yang sekarang kurasa memang mustahil. Tidak ada pilihan lain selain menjadi diri sendiri.”


Malam telah berlalu dan sang fajar akhirnya menampakkan dirinya. Ketika pagi hari sudah mau berakhir, suara pintu yang diketuk terdengar.


Alina: “Masuklah!”


Athaya: “Selamat pagi, kak. Aku datang lagi karena hari ini sekolah berakhir dengan cepat.”


Alina: “Oh, kalau begitu silahkan duduk. Kamu sendirian lagi? Apa ayah dan ibu belum bisa datang?”


Athaya: “Ah, itu, mereka masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tapi menurutku mereka hanya gugup untuk menemuimu.”


Alina: “Mereka benar-benar sibuk, ya… Tapi jujur aku juga merasa gugup sih, aku tidak tahu harus bicara dan bersikap apa. Aku sudah bisa pulang hari ini, kan? Mereka pasti akan menjemput, kan?”


Athaya: “Tentu saja! Semua persiapan pestanya juga sudah siap. Kami sangat menunggu kepulangan kakak… Setelah itu kita bisa memulai kembali dan menjadi keluarga sebenarnya.”


Alina: “Aku menantikan pestanya! Ah, tapi, tentang itu aku ingin membicarakannya sedikit.”


Athaya: “Hm? Ada apa?”


Alina: “Setelah aku memikirkan dan mensimulasikannya beberapa kali, kurasa alasan aku menjauhi kalian bertiga adalah agar kalian bisa hidup dengan bahagia tanpa tercampur oleh perasaan egoisku…”


Athaya: “... Kenapa kakak melakukan itu? Dan perasaan egois apa itu?”


Alina: “Aku tidak bisa kembali ke diriku yang dulu, diriku yang menutup diri dari kalian. Tidak tahu ini benar atau tidak, tapi kurasa aku memang menolak ayah yang ingin menikah lagi namun aku tidak bisa mengungkapkannya. Bersikap dingin pada kalian yang selalu baik denganku, itu pasti membuat hati diriku yang dulu sakit.”


Athaya: “Ah, begitukah… Tapi apakah memang benar?”


Alina: “Tidak tahu, hanya diriku yang dulu yang mengetahui. Tapi diriku yang dulu sudah tidak ada, jadi apa yang akan aku akan katakan sekarang adalah langsung dari diriku yang baru. Mau mendengarkan?”


Athaya: “Tentu!”


Alina: “Keinginan pertama diriku yang baru ini adalah… Untuk menjadi lebih dekat denganmu, dengan ibu dan ayah juga. Aku ingin menjalin hubungan keluarga yang baik… Aku ingin rumah kita penuh canda-tawa, sarapan bersama, makan malam bersama, menonton TV bersama di ruang keluarga, ah masih banyak lagi yang ingin aku lakukan bersama. Maafkan diriku yang dulu karena selalu menghindarimu. Tapi sekarang diriku yang baru telah lahir. Terima kasih sudah khawatir dan selalu baik padaku, Athaya.”


Athaya: “Ah… A-aku, aku juga ingin kita melakukan banyak hal bersama sebagai keluarga, kak Alina!”


Suasana hangat memenuhi ruangan dingin tempat Alina berada. Setelah selesai mengungkapkan semuanya, Athaya pergi. Kemudian suara ketukan pintu terdengar kembali.


Alina: “Masuklah!”


Mayza: “Lena!! Aha…! Tolong biarkan aku memelukmu lebih lama lagi.”


Alina: “Tentu. Terima kasih sudah datang…”


Mayza: “Apapun untukmu, Lena.”


Alina: “Kalau begitu maukah kamu duduk dan mendengarkan?”


Mayza: “Oke!”


Alina: “Mayza, maukah kamu tetap berteman denganku? Maksudku menjadi temanku lagi? Meskipun aku telah melupakan semuanya…”


Mayza: “Tidak!”


Alina: “E-eh?”


Mayza: “Apa maksudmu ‘teman’? Hubungan kita adalah sahabat, lebih erat dari teman. Sahabat adalah sahabat, tidak peduli meskipun salah satu dari kita melupakannya. Hubungan sahabat bukan sesuatu yang lemah, Lena.”


Alina: “Pfft– haha… J-jadi itu maksudmu, maaf aku malah menggunakan kata ‘teman’. Benar, kita adalah sahabat… Meskipun aku melupakannya, tapi masih ada kamu yang bisa menghubungkannya. Ya ampun, kupikir kamu tipe yang hanya bisa bercanda. Tapi kata-katamu tadi cukup keren.”


Mayza: “Hmph, j-jangan meremehkanku… Hahaha. Oke kita balik lagi ke yang tadi, ayo coba katakan ulang!”


Alina: “Oke, ehm… Maaf aku tidak bisa mengingat apapun, tapi Mayza maukah kamu menjadi sahabatku lagi? Dengan diriku yang baru ini.”


Mayza: “Mau…! Aku dengan senang hati akan menjadi sahabatmu lagi!”


Alina: “Ugh, aku dipeluk lagi~ Apakah kamu sering melakukan ini dengan diriku yang dulu?”


Mayza: “Ya begitulah, setiap kali kita bertemu atau ketika aku lagi senang biasanya aku memelukmu, walau kamunya tidak pernah bereaksi apa-apa…”


Alina: “Eh? Setiap kali bertemu?! ... Oke, kesampingkan itu. Omong-omong apakah aku yang dulu hanya memanggilmu dengan ‘Mayza’ saja?”


Mayza: “Begitulah. Dari awal kenal, kurasa. Memangnya kenapa?”


Alina: “Kalau begitu, untuk diriku yang baru, bolehkah aku memanggilmu ‘May’? Karena itu lebih mudah, singkat dan imut.”


Mayza: “... Hahaha, kamu meniru perkataanku kemarin? Tapi tentu saja boleh!”


Alina dan Mayza memiliki senyum yang lebar di wajahnya, mereka benar-benar sedang sangat bahagia. Waktu berlalu, Mayza pergi dan ketukan pintu selanjutnya sudah terdengar.


Alina: “Masuklah!”


Mahendra: “Hei, aku datang lagi. Hm? Sepertinya kamu habis mengalami kejadian yang menyenangkan.”


Alina: “Begitulah. Tadi aku baru saja memperbarui ikatan persahabatan dengan sahabat lama ku. Ditambah lagi melihat kamu datang sambil membawa sebungkus buah anggur, rasa gembiraku menjadi double!”


Mahendra: “Senang mendengarnya. Tapi aku merasa kamu ingin membicarakan sesuatu? Ada apa?”


Alina: “Aku juga senang mendengarnya, kamu benar-benar mengerti aku…”


Mahendra: “Yah, lagipula aku ‘kan pacarmu.”


Alina: “–!! J-jangan berkata begitu dengan mudahnya, aku jadi malu…”


Mahendra: “Hm? Oke, jadi ada apa?”


Alina: “Baiklah. Sebelumnya kamu pernah mengatakan menjadi sesuatu yang spesial hingga memilikiku… Aku tidak mengerti kata-kata itu. Aku yang sekarang, aku yang baru tidak bisa menjadi seseorang yang kamu inginkan atau menjadi milikmu seorang…”


Mahendra: “Eh? J-jadi dirimu yang lama… Tidak akan pernah kembali, maksudku kamu tidak berniat kembali seperti dulu…?”


Alina: “Begitulah, dan kurasa memang sulit untuk kembali menjadi diriku yang dulu.”


Mahendra: “T-tapi aku…!”


Alina: “Maaf, tapi aku telah berubah.”


Mahendra: “…”


Alina: (memegang kedua tangan Mahendra dan menatap lurus ke matanya) “Diriku yang lama telah tiada, yang ada hanyalah yang sekarang. Tapi meski begitu… Bertemu denganmu tetap saja masih membuatku senang. Kebaikan dan pengertianmu membuatku nyaman. Baik dulu maupun sekarang, dunia ini berisi banyak hal yang tidak kuketahui… Tapi kamu menunjukkan sikap yang membuatku merasa seperti bisa menghadapi dunia ini jika kita aku bersamamu. Meskipun telah berubah, tapi baik aku yang dulu atau yang sekarang… Aku ingin terus bersamamu. Jadi, kumohon maukah kamu… B-berpacaran denganku sekali lagi?”


Mahendra: “Dirimu yang lama telah tiada… Benar, dirimu yang lama tidak mungkin mengungkapkan perasaannya sejujur ini. Dan kalau kamu tanya apakah perasaanku berubah meski dirimu berubah? Tentu saja tidak, justru pengakuan ini membuatku bisa mencintaimu lebih dalam lagi.”


Alina: “Terima kasih… Terima kasih telah menerima diriku yang egois dan keras kepala ini… Walaupun diriku yang baru ini tidak bisa mengingatmu, tapi aku merasa ingin tetap bersamamu. Perasaan yang aneh. Jadi tolong berjanjilah untuk tetap bersamaku…”


Mahendra: “Tidak perlu diminta, dengan senang hati aku berjanji akan terus berada di sisimu. Terima kasih juga karena telah tetap mencintaiku walaupun kamu tidak mengingatku.”


Alina: “Sama-sama… Tidak perlu khawatir, mulai dari sekarang kita bisa bersama mengisi kepala kita dengan ingatan-ingatan baru, namun rasa cinta kita tetap sama.”


Pembukaan yang sungguh indah untuk Alina yang baru. Tanpa disadari hari telah sore, Mahendra pulang dan Alina juga bersiap-siap untuk kembali ke rumah.


Alina: “Terbangun di tempat yang tidak diketahui, tidak mengetahui diri sendiri hingga mendapat jawaban yang membingungkan. Sungguh menakutkan. Aku mulai berpikir untuk menjadi orang lain, karena aku tidak memiliki kepribadian sendiri. Tapi itu jelas salah…”


Athaya: “Kak, kami datang!”



Alina: “Oh, Athaya. Ayah dan ibu juga…!”


Gantari: “Alina, sayangku…!”


Liora: “Alina!”


Mina: “Selamat karena sudah diperbolehkan pulang. Aku sudah menyiapkan semuanya, dan keluargamu datang tepat waktu. Kamu terlihat ringan, seperti sudah menyelesaikan masalah yang sangat berat. Aku ikut senang.”


Alina: “Suster Mina, terima kasih sudah merawatku dan bantuan dari perkataanmu sangat berguna untukku… Lain kali aku akan berkunjung menemuimu, boleh?”


Mina: “Sama-sama. Tentu saja kamu boleh menemuiku lagi. Tapi, datanglah sebagai teman, jangan sebagai pasien. Jaga dirimu dengan baik. Aku senang telah mengenalmu.”


Alina: “Aku juga! Ah… Kepada diriku yang dulu… Terima kasih, aku sekarang sangat bahagia. Karena aku belajar darimu, aku jadi bisa menjadi siapapun yang aku inginkan. Aku bisa menjadi diriku sendiri.”


-TAMAT-

Komentar

Posting Komentar