Arti Melempar Sebuah Pedang ke Danau
Kala itu sekitar tahun 537 M di pulau Britania, pecah sebuah pertempuran yang disebut sebagai ‘Pertempuran Camlann’. Disebut begitu karena terjadi di daerah yang bernama Camlann. Pertempuran tersebut adalah penyebab runtuhnya Kerajaan Camelot dan kematian Raja Arthur, seorang raja dan kesatria hebat yang menguasai hampir seluruh daratan Eropa Barat.
“Bedivere. Apakah engkau masih berada di sini? Apakah suaraku masih dapat engkau dengar?” tanya Raja Arthur dengan suara yang gemetar. Tubuhnya yang penuh luka dan darah terbaring lemas di bawah bersandar pada sebuah pohon. Wajahnya menghadap ke atas, namun matanya tidak lagi sanggup untuk dibuka.
“Ya, rajaku. Hamba masih di sini dan bisa mendengar suara Anda,” jawab Sir Bedivere.
“Begitukah? Baguslah…” balas Raja Arthur. Walau dengan banyaknya luka yang telah diterima menyebabkan dirinya selalu merasa kesakitan untuk menggerakkan sedikit otot tubuhnya, ia tetap memaksakan untuk tersenyum dan meringankan tubuhnya setelah mendengar jawaban yang diberikan Sir Bedivere.
Sir Bedivere adalah salah satu dari 12 Kesatria Meja Bundar, sekaligus orang kepercayaan langsung dari Raja Arthur. Dikenal sebagai kesatria yang tenang dan rasional, saat ini ia sedang sangat khawatir dan kebingungan atas apa yang terjadi. Muncul perpecahan di antara Kesatria Meja Bundar, pemberontakan, dan pertempuran yang telah menyebabkan Kerajaan Camelot hancur. Ia dan Raja Arthur adalah korban dari Pertempuran Camlann yang menyelamatkan diri dengan berlindung di dalam hutan setelah berhasil membunuh ratusan kesatria kerajaan yang menerjangnya, termasuk para Kesatria Meja Bundar.
“Bedivere, kesatriaku. Beritahu padaku, apakah diriku ini sebenarnya adalah seorang pendosa? Negeri yang sudah dipercayakan banyak orang kepadaku, sekarang sudah hancur dan hanya menyisakan tumpukan mayat para kesatria-kesatriaku saja.”
“Tentu saja tidak–! Apa yang Anda katakan tiba-tiba!? Anda adalah penyelamat dunia!” jawab Sir Bedivere dengan cepat sambil mulai menyibukkan tangannya dengan mencoba berbagai hal untuk meringankan luka sang raja. Ia memulainya dengan memberinya minum air segar dari danau, lalu mencoba membuat obat herbal dari tumbuhan yang ada di hutan yang kemudian akan diikatkan kepada Raja Arthur menggunakan sebuah perban.
“Penyelamat dunia, ya…?” gumam Raja Arthur untuk diri sendiri. Pandangannya yang sedari tadi gelap memunculkan kenangan masa hidupnya ketika kecil. Ia menghabiskan masa mudanya di sebuah pedesaan kecil, sampai suatu hari terungkap fakta bahwa dirinya merupakan keturunan dari seorang raja bernama Uther Pendragon dan bangsawan bernama Igraine, istri dari Duke of Cornwall. Karena itulah sejak kelahirannya ia dikeluarkan dari istana dan dibesarkan oleh ayah angkatnya, Sir Ector, tuan tanah pemilik perkebunan besar di London.
"Rajaku, engkau tidak diragukan lagi adalah manusia yang suci, bahkan pedang ajaib memilihmu. Tiada orang lain yang lebih suci darimu!" lanjut Sir Bedivere membantah perkataan Raja Arthur yang menganggap dirinya sebagai pendosa.
"Pedang ajaib…" kata Raja Arthur dengan suara kecil sambil mengusap sebuah pedang berkilau, namun penuh darah yang ada di pangkuannya.
Pedang ajaib yang dimaksud oleh Sir Bedivere adalah sebuah pedang yang bernama Excalibur. Ketika menuju usia dewasa, Raja Arthur berhasil mencabut sebuah pedang yang tertancap pada bongkahan batu besar. Berdasarkan legenda yang sangat terkenal, siapapun yang mampu mencabut pedang ajaib tersebut akan diberkahi keajaiban dan hak untuk memerintah Britania Raya. Apakah mengubah hidup anak desa yang biasa saja menjadi diakui oleh semua orang adalah keajaiban yang dimaksud? Jawabannya adalah tidak.
“Bedivere… Diriku ingin mengetahuinya, apa yang kau pikirkan tentang sahabatku–Merlin?” tanya Raja Arthur dengan tiba-tiba.
“Merlin… Ia adalah pria yang hebat, penasehat terbaik yang pantas berada di sisi Anda, Yang Mulia,” Sir Bedivere sedikit terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba itu, namun ia langsung menyadari fakta bahwa membuat Raja Arthur tetap berbicara adalah hal yang baik agar kesadarannya tidak hilang. “Menurut hamba, Merlin adalah orang yang paling berjasa dalam hidup Anda. hamba menjadi penasaran seperti apa petualangan hidup yang telah kalian alami…”
“Benar sekali, perkataanmu sangatlah benar, Bedivere. Merlin adalah seorang penyihir yang hebat. Tanpa dirinya… Diriku yang sekarang kemungkinan hanya akan menjadi seorang petani di sebuah desa kecil…” Raja Arthur menanggapi rasa penasaran Sir Bedivere.
Di sana Raja Arthur dengan suara yang gemetar namun penuh semangat, menceritakan awal perjalanan hidupnya bersama Merlin. Semuanya dimulai bahkan jauh sebelum Raja Arthur mencabut Excalibur. Sekitar 100 tahun yang lalu, seorang penyihir hebat dan misterius mengatakan kepada salah satu Baron di Kerajaan Silchester yang berada di dataran Logres, bahwa hanya orang yang bisa mencabut pedang dari batu tersebut yang akan menjadi raja yang sah. Hingga pada suatu ketika, Merlin menyadari bahwa ada orang yang berhasil mencabut pedang tersebut, orang itu adalah Arthur Pendragon. Raja Arthur berkata, saat itu Merlin-lah yang bertanggung jawab atas penyerahan mahkota kepada dirinya. Kabar bahwa Arthur Pendragon menjadi raja karena hanya dirinya yang bisa mencabut Excalibur dari batu itu tidak diterima dengan baik. Beberapa raja dari kerajaan lain hingga para bangsawan merasa tidak percaya jika hanya Raja Arthur yang bisa mencabut pedang itu.
“Oh, penyihirku, Merlin. Ia adalah manusia yang sangat jenius…”
Selesai menceritakan awal kisah hidupnya bersama Merlin, Raja Arthur selanjutnya menceritakan berbagai kisah kejeniusan yang berasal dari pemikiran Merlin. Raja Arthur berkata, setelah beberapa waktu banyak penolakan fakta bahwa dirinya diangkat menjadi raja, Merlin ikut terlibat membantu Raja Arthur menghadapi masalah ini. Ia memberikan berbagai macam strategi kepada Raja Arthur agar bisa memenangkan perseteruan dan peperangan melawan para pemberontak. Puncak dari peperangan melawan pemberontak tersebut adalah ketika Raja Arthur melawan seorang raja dan kesatria yang sangat tangguh, Raja Pellinore. Raja Arthur dengan sekuat tenaga memberikan perlawanan yang akhirnya ia pun berhasil memenangkannya, namun harga yang harus dibayar adalah fakta bahwa pedang Excalibur yang hancur. Ia tidak memberitahukan hal ini kepada Sir Bedivere.
“Bedivere, Bedivere…”
“Ya, rajaku, ada apa? Hamba masih mendengar kisah hidup Anda dengan seksama,” sahut Sir Bedivere.
“Ambillah pedangku… Pergilah dari hutan ini, dan lewati lembah berdarah itu, kau tahu ‘kan? Danau yang terbentang luas di depannya, lemparkan pedangku padanya,” perintah Raja Arthur sambil mencoba mengangkat pedangnya ke atas dengan kedua tangan yang gemetar.
“Raja… Itu, apa maksud Anda?” tanya Sir Bedivere yang kebingungan.
“Kau harus pergi, Bedivere. Setelah kau melaksanakannya, kembalilah ke sini dan beritahu padaku apa yang kau lihat.”
“Ta-tapi, Itu–”
“Tidak boleh, Bedivere. Kau harus pacu kudamu segera dari sini. Hanya kau yang bisa ku mintai tolong saat ini…” Raja Arthur segera memberikan perkataan yang berat ketika tahu bahwa Sir Bedivere berencana menolak permintaannya.
“Raja–Yang Mulia Raja Arthur… Kumohon bertahanlah, hamba akan segera kembali!” dengan suara berat, Sir Bedivere menunduk lalu mengambil pedang yang berada di pangkuan Raja Arthur secara perlahan, kemudian ia menaiki dan memacu kudanya sambil memegang pedang Excalibur di tangan kanannya. Ia memacu kuda putihnya itu dengan sangat cepat dan terburu-buru meninggalkan Raja Arthur dengan perasaan yang sangat berat. Sir Bedivere mengetahui jalan yang dituju karena ia telah beberapa kali melewatinya hanya untuk membawakan air minum kepada Raja Arthur. Dengan pacuan kudanya yang sangat cepat dan pengetahuannya akan rute termudah, Sir Bedivere sampai di tepi danau yang dimaksud dengan mudah. Ia berjalan beberapa langkah memasuki air dan ketika dirasanya sudah cukup, dengan perasaan yang sangat berat ia harus memenuhi permintaan langsung dari sang raja. Sudah jelas, jauh di dalam hatinya ia merasa sangat tidak setuju karena merasa sayang, sebab pedang tersebut adalah teman perjuangan Raja Arthur.
“Raja! Rajaku, Yang Mulia Raja Arthur, diriku kembali!” teriak Sir Bedivere dari kejauhan dengan masih memacu kudanya. “Raja Arthur, hamba kembali setelah melaksanakan perintah Anda! Bertahanlah!”
Tuk tuk tuk tuk. Raja Arthur yang masih berada di tempat yang sama mendengar teriakan Sir Bedivere dengan perasaan bahagia dan ingin segera menanyakan apa yang telah dilihat oleh Sir Bedivere. Dan ketika suara langkah kuda mulai melambat diiringi dengan suara terengah-engah Sir Bedivere, Raja Arthur segera membuka mulut untuk menanyakannya pada Sir Bedivere. “Bedivere, kesatriaku, sekarang katakan padaku apa yang telah engkau lihat di danau.”
“Yang Mulia… Ma-maafkan diriku karena ini mungkin ti-tidak sesuai yang Anda harapkan…” kata Sir Bedivere yang ragu.
“... Diriku tidak paham, apa maksudmu? Katakan saja, wahai Bedivere.”
“Ba-bahkan hamba juga tidak memahami apa maksud Anda, Yang Mulia. Ketika pedang dilemparkan ke sebuah danau, hanya akan menyebabkan airnya menjadi bergelombang dan muncul sedikit percikan…” jelas Sir Bedivere.
“... Seperti yang ku katakan, diriku tidak mengerti apa maksudmu, Bedivere. Apakah dirimu benar-benar melemparkan pedang milikku? Atau pedang siapa yang sebenarnya kau lemparkan, Bedivere?”
“–!!” Sir Bedivere tersentak.
“Diriku sudah menduganya. Diriku tidak akan menyalahkanmu, Bedivere. Kau pasti menganggap pedang itu sangat berharga sehingga sangat sulit untuk melepaskannya, bukankah begitu? Kau mungkin juga berpikir bahwa pedang itu adalah saksi bisu dari perjalanan hidupku? Itu… Memang benar adanya.”
Sebuah hal yang mengejutkan. Sir Bedivere, orang kepercayaan Raja Arthur, baru saja berbohong dan tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan kepadanya. Sir Bedivere tidak melempar pedang Excalibur ke danau, namun ia kembali dengan mencoba menjelaskan kepada Raja Arthur apa yang terjadi ketika pedang di lempar ke air dan juga mencoba meyakinkan bahwa saat ini hanya ada satu pedang yang ia pegang di tangannya. Sir Bedivere tidak melempar pedang Excalibur, melainkan ia melemparkan pedang miliknya sendiri. Dari itu ia mengamati apa yang terjadi, lalu kembali dan melaporkannya kepada Raja Arthur.
“Bedivere, pedang Excalibur yang saat ini kau pegang… adalah Excalibur yang sebenarnya,” kata Raja Arthur.
“A-apa maksudnya itu, Yang Mulia? Apakah di luar sana terdapat pedang ajaib Excalibur yang palsu? Siapakah gerangan yang mampu menirukannya?” tanya Sir Bedivere yang terkejut.
“Tenanglah, Bedivere. Mendekat, duduk, dan tenangkan dirimu. Diriku akan menceritakannya. Excalibur… mulanya adalah satu nama dari dua entitas pedang yang ada di dunia…”
Pedang ajaib Excalibur, sebuah pedang dengan dua entitas atau keberadaan yang memiliki bentuk serupa. Raja Arthur menjelaskan, perbedaan di antara keduanya adalah keajaiban yang berada di dalam pedang tersebut. Entitas pertama terdapat di dalam legenda yang diketahui oleh semua orang, yaitu sebuah pedang yang tertancap pada batu besar. Namun setelah dicabut dan digunakan Raja Arthur untuk melawan Raja Pellinore, pedang itu hancur di sana. Lalu bagaimana dengan pedang yang saat ini dipegang oleh Sir Bedivere?
“La-lalu… Pedang ini?”
“Seperti yang diriku katakan sebelumnya, pedang yang saat ini adalah yang asli…”
Entitas kedua dari Excalibur, keberadaan yang tidak diketahui oleh orang-orang. Hal tersebut dikarenakan pedang ajaib yang asli ini dimiliki oleh Lady of the Lake, makhluk peri yang tinggal di sebuah kastil yang berada di dasar danau yang mengelilingi pulau Avalon. Lady of the Lake atau yang diketahui bernama Viviane memberikan pedang ajaib tersebut kepada dirinya setelah Raja Arthur diajak Merlin pergi ke sebuah danau. Merlin memohon pada Viviane supaya mau memberikan pedang ajaib yang diperkuat oleh sihir sehingga menjadi sangat tajam dan tidak bisa dipecahkan, yaitu pedang Excalibur kepada Raja Arthur.
“I-itu fakta yang sangat mengejutkan, rajaku,” kata Sir Bedivere. “Diriku tidak mengetahuinya bahwa Merlin, terutama Anda, telah kenal dengan sosok yang disebut sebagai Lady of the Lake. Apakah alasan kepergian Merlin adalah untuk mempelajari sihir di dalam danau sana?” lanjut Sir Bedivere penasaran akan kepergian Merlin selama ini.
“Merlin, penasihat sekaligus sahabatku… Ia… Dirinya telah ditawan oleh Viviane,” jawab Raja Arthur. Mendengar kata ‘ditawan’ membuat Sir Bedivere sontak terkejut.
Raja Arthur kembali menjelaskan cerita yang pernah ia dengar dari orangnya langsung, yaitu bahwa awal pertemuan Merlin dengan Viviane adalah ketika Merlin masih berusia dua belas tahun. Diketahui Merlin adalah anak dari seorang ibu manusia dan ayahnya yang merupakan iblis incubus. Dari persilangan tidak biasa tersebut, lahirlah Merlin seorang manusia dengan kekuatan sihir yang jauh di atas rata-rata. Suatu hari ketika sedang berjalan di dekat sebuah danau, ia melihat sosok wanita yang begitu cantik hingga membuat dirinya jatuh cinta pada pandangan pertama. Sosok cantik itu adalah Viviane, namun rasa cinta Merlin tidak terbalaskan. Tetapi Viviane tetap berinteraksi dengan Merlin karena ia ingin mempelajari sihir darinya. Kembali ke Merlin yang mempertemukan Viviane dengan Raja Arthur, di saat itu Viviane merasa sesuatu bergejolak di dalam dirinya, lalu ia menggunakan kombinasi sihirnya dan mantra yang diajarkan Merlin untuk memenjarakannya di dalam menara dengan tembok tak terlihat.
“Viviane akhirnya mengakui perasaan cintanya, dan berharap agar bisa terus bersama Merlin sehingga ia bisa terus mempelajari sihir dari Merlin…” jelas Raja Arthur.
“Cerita yang mengejutkan sekali… Lalu alasan Anda memerintahkan hamba untuk melempar pedang Excalibur ke danau adalah karena Anda merasa pedang ini adalah benda pinjaman sehingga wajib dikembalikan?”
“Begitulah, itu adalah salah satu alasannya–”
“Tolong maafkan hamba! Yang Mulia Raja Arthur Pendragon, tolong berikan maafmu kepada seorang hamba, kesatria yang tak tahu diri ini karena telah berbohong dan melanggar perintahmu serta perilaku tak terpuji nya karena telah bertindak sendiri terhadap hal yang tak perlu! Ya-yang Mulia… Ha-hamba sangat menyesal…” teriak Sir Bedivere yang membuat Raja Arthur terkejut.
“Seperti yang ku katakan sebelumnya, diriku tidak menyalahkanmu, Bedivere. Angkat kepalamu dari tanah…”
“Ta-tapi…”
“Angkatlah, dan dengarkan penjelasanku lagi… Namun sebelum itu, Bedivere, apakah kau tahu makna pedang Excalibur selain sebagai sebuah senjata?”
“A-apa itu, Yang Mulia…?”
“Pedang Excalibur memiliki makna dan simbol yang kuat sebagai keadilan…”
“Keadilan…?”
“Benar. Excalibur memiliki keajaiban dan fungsi sebagai alat yang digunakan oleh seseorang yang akan menegakkan keadilan dan juga persatuaan di suatu daerah. Namun sekarang… Diriku sudah tidak bisa lagi melihat keadilan di Kerajaan Camelot, yang ada hanyalah para pemberontak dan tumpukan mayat. Kau sangat mengerti apa penyebabnya, bukankah begitu, Bedivere?”
“Benar sekali, rajaku… Di-diriku sama sekali tidak mempercayai akan ada pemberontakan yang besar di antara Kesatria Meja Bundar, dan tidak hanya itu…” kata Sir Bedivere sambil mengingat apa yang telah terjadi di Kerajaan Camelot.
Pertempuran Camlann terjadi bukan hanya karena Kesatria Meja Bundar yang berselisih lalu memberontak, namun ada hal besar lain sebelumnya yang akhirnya memicu perpecahan tersebut. Hal terbesar yang sangat menyakitkan dan benar-benar terjadi adalah apa yang telah dilakukan oleh Sir Lancelot, kesatria terkuat yang langsung dilatih oleh Raja Arthur. Sir Lancelot berkhianat dengan jatuh cinta dan berselingkuh dengan Ratu Guinevere, istri Raja Arthur. Ratu Guinevere juga ditetapkan bersalah karena ia mau berselingkuh dengan Sir Lancelot hingga mereka berdua melarikan diri dari Kerajaan Camelot. Perdebatan terjadi di antara Kesatria Meja Bundar tentang bagaimana menghukum Sir Lancelot dan Ratu Guinevere. Akhirnya Raja Arthur sendiri turun tangan pergi mencari mereka berdua dan berhasil membawanya kembali ke Kerajaan Camelot.
“Sir Lancelot dan Ratu Guinere…” gumam Sir Bedivere.
Dengan dibawanya Sir Lancelot dan Ratu Guinevere kembali ke Kerajaan Camelot tidak meredakan apapun, justru perdebatan semakin panas seolah ada seseorang yang sengaja memanaskan suasana. Karena perdebatan yang mulai terpecah, Raja Arthur memutuskan untuk menghukum Sir Lancelot dengan mengajaknya duel terhormat seperti seorang kesatria, yang kalah akan mendapatkan kematian dan yang menang berhak memiliki Ratu Guinevere. Pertarungan itu jelas dimenangkan oleh Raja Arthur karena meskipun Sir Lancelot sangat kuat, namun tetap saja ilmu atau tekniknya didapat dari Raja Arthur. Tetapi, kemenangan itu tidak membuat Raja Arthur senang sama sekali. Karena bagaimanapun, ia baru saja membunuh murid sekaligus kesatria terkuatnya dengan pedang simbol keadilan. Dan diketahui juga hierarki Kesatria Meja Bundar menjadi goyah setelah Sir Lancelot yang terkuat, telah terbunuh.
“Lancelot, muridku… Aku tidak menyangka bahwa dirikulah yang telah mengambil nyawanya dengan tangan ini, dan sebuah pedang ajaib... Tidak hanya itu, bahkan Mordred anakku…” kata Raja Arthur menyesal.
Raja Arthur dan Sir Bedivere mengetahui betul apa yang terjadi sebelum berita perselingkuhan Sir Lancelot dan Ratu Guinevere terbongkar, atau lebih tepatnya mengetahui siapa sosok yang membongkar hal tersebut. Sosok tersebut adalah anak dari Raja Arthur sendiri, yaitu Sir Mordred. Dengan hasutan dari seseorang yang bernama Morgan Le Fay, Sir Mordred adalah orang yang membocorkan berita perselingkuhan tersebut. Apa tujuannya? Diketahui Sir Mordred sejak masih kecil sangat tergila-gila akan kedudukan seorang raja. Ia akhirnya bergabung dengan Kesatria Meja Bundar dan berharap akan segera menggantikan posisi ayahnya. Namun ia tidak kuat menunggu selama itu, apalagi terdapat fakta bahwa Sir Lancelot akan dijadikan calon raja berikutnya karena ia lebih kuat, berwibawa, dan dekat dengan Raja Arthur. Hal tersebut menyulut api amarah di dalam diri Sir Mordred karena tidak tahu apa yang dipikirkan oleh ayahnya.
“Bedivere, apakah kau tahu kenapa diriku tidak ingin menjadikan Mordred sebagai raja berikutnya?” tanya Raja Arthur. “Itu karena diriku telah lebih dulu melihat atau menebak bahwa masa depan akan menjadi seperti ini. Tanggung jawab seorang raja sangatlah besar, apalagi jika ia juga merupakan seorang kesatria. Lihatlah diriku, sekarang harus berdiri di atas mayat-mayat para kesatria yang kuanggap teman…” lanjut Raja Arthur.
Raja Arthur tidak ingin anaknya harus merasakan berdiri di tumpukan mayat para kesatria dan juga harus menanggung beban yang berat sebagai seorang raja, seperti yang telah dirinya lalui sekarang. Namun Sir Mordred yang tidak mengerti akan hal tersebut, akhirnya ia memanfaatkan celah Raja Arthur yang terluka setelah melawan Sir Lancelot untuk langsung membunuhnya. Tidak seperti yang dibayangkan, karena pertarungannya dengan Raja Arthur justru menyebabkan Sir Mordred kalah dan akhirnya terbunuh. Diketahui juga hal tersebut memicu atau membangkitkan motivasi yang sama kepada Kesatria Meja Bundar lain. Mereka yang tersisa, dengan pasukan-pasukan pribadinya membagi diri ke dalam berbagai faksi yang tujuannya adalah menentukan siapa yang akan memimpin Kerajaan Camelot berikutnya.
“Di-diriku membunuh putraku, muridku, dan teman-temanku dengan pedang Excalibur… Itu bukanlah hal yang dititipkan oleh Merlin dan Viviane kepada diriku… Diriku merasa sangat tidak berhak untuk memiliki pedang ajaib itu…”
“Yang Mulia…” kata Sir Bedivere cemas.
“... Setelah semua yang terjadi, diriku sudah tidak merasakan adanya keadilan dan persatuan lagi di Kerajaan Camelot. Maka dari itu, Bedivere, lemparkan pedang itu ke danau. Hanya kau yang mampu mengembalikannya sekarang dan melihat apa yang terjadi setelah kau melemparkannya.”
“... Baiklah. Yang Mulia Raja Arthur Pendragon, tolong izinkan hamba sekali lagi untuk pergi dan mengembalikan pedang ajaib Excalibur kepada Lady of the Lake. Segera setelah melaksanakannya, hamba akan kembali dan memberitahukan apa yang hamba lihat.”
“Angkat kepalamu dan pergilah, Bedivere. Izin dan berkahku selalu bersamamu, dan bawa sekalian perasaan terima kasihku untuk Merlin dan Viviane,” kata Raja Arthur memberi izin kepada Sir Bedivere.
Dengan begitu, Sir Bedivere kembali menenteng pedang Excalibur dan memacu kudanya untuk kembali ke danau sebelumnya. Ia memacu lebih kuat kudanya sehingga sampai lebih cepat dari sebelumnya. Di sana Sir Bedivere berjalan beberapa langkah memasuki air, dan membersihkan noda darah yang ada di pedang tersebut dengan air yang ada di sekitarnya. Ia merasa harus membersihkan dahulu benda yang telah dipinjam. Setelah meyakinkan dirinya, ia melempar pedang itu sejauh mungkin dengan kedua tangan sambil menyampaikan pesan dari Raja Arthur. Dan tepat setelah pedang itu akan mengenai permukaan danau, Sir Bedivere dikejutkan oleh apa yang dilihat matanya. Ia lalu langsung bergegas kembali ke tempat Raja Arthur.
“Raja! Raja! Raja! Yang Mulia Raja Arthur…! Di-diriku kembali setelah menuntaskan perintahmu!”
Tuk tuk tuk tuk.
“Tenanglah, Bedivere. Diriku mendengar suaramu dengan jelas–”
“Rajaku, da-danau itu… Te-tepat setelah diriku melemparkannya ke tengah danau, tidak lama kemudian muncul dari dalam air sebuah tangan yang menangkap pedang Excalibur dan perlahan membawanya masuk ke dalam air…!” kata Sir Bedivere dengan semangat.
“Begitukah? Lalu apa lagi yang kau lihat?” tanya Raja Arthur dengan antusias.
“Ketika pedangnya dibawa masuk ke dalam air secara perlahan, muncul juga gelembung dan cahaya putih yang cukup terang!”
“Begitukah? Kalau begitu berarti pengembalian sudah terlaksanakan dan diriku harus mengucapkan terima kasihku kepada Merlin dan Viviane dengan sangat dalam…”
Perkataan itu membuat Raja Arthur tersenyum dan memikirkan semua hal yang telah dilaluinya dengan sangat dalam. Tidak lupa juga ia mengatakan banyak terima kasihnya untuk Merlin, orang yang telah menjadi sahabat sekaligus penasihatnya, dan Viviane yang sudah mau meminjamkan pedang ajaib Excalibur kepadanya untuk memimpin Britania Raya. Setelah semuanya dirasa telah tuntas, perlahan nafas Raju Arthur mulai melemah. Hingga akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya di sana, di hadapan Sir Bedivere dan pohon-pohon besar yang membentuk sebuah hutan.
gg
ReplyDeleteKok Arthur nya nggak dibuat jdi cwe biar kya di fate series?🗿
ReplyDelete