Langsung ke konten utama

Dirimu yang Masih Terjebak Dalam Sangkar

‎ Dirimu yang Masih Terjebak Dalam Sangkar



Bagian 1: Kita Ini Mirip


Masa lalu adalah sesuatu yang dimiliki oleh setiap orang. Meskipun kita semua memiliki masa lalu, pengalaman hidup yang telah dilalui membuat masa lalu setiap orang menjadi berbeda. Masa lalu dianggap sebagai pembangun bagi seseorang di masa depannya. Namun, seperti pedang bermata dua, masa lalu dapat membuat seseorang tumbuh menjadi lebih baik atau mengikat dan menghambat perkembangannya. Apakah masa lalu seharusnya menjadi perhatian atau tidak? Semua tergantung pada bagaimana seseorang menjalani hidupnya.


"Nanda...! Nanda, tunggu aku...! Hei, Nanda...!" Terengah-engah, seorang gadis kecil berlari sambil membawa tas berhias di bahunya, sambil melambaikan tangannya untuk memanggil seorang gadis yang berjalan di depannya. Terdengar langkah kaki dan suara lonceng kecil yang tergantung di tas gadis yang sedang berlari itu. Gadis yang dipanggil akhirnya berhenti dan menoleh ke belakang. Dengan heran dia bertanya, "Kamu... memanggil aku?"


"Gitu dong, akhirnya kamu berhenti..." ujar gadis kecil itu sambil dengan semangat menggenggam kedua tangan Nanda. Meskipun agak terkejut, Nanda tidak melepaskan tangannya dari gadis di depannya. Dengan perasaan bingung dan sedikit malu, Nanda menatap gadis tersebut.


"A-ada apa, ya?" tanya Nanda dengan suara kecil.


"Nggak ada apa-apa. Aku hanya ingin berteman denganmu," jawab gadis itu.


"Kamu... mau berteman dengan aku?" tanya Nanda mencoba mengonfirmasi. Dia takut dirinya salah mendengar atau apa.


"Tentu saja! Mungkin kamu tidak ingat, namaku Loveena. Kita sekelas!" jawab gadis itu dengan senyuman lebar.


"Oh, maaf... Aku Nanda."


"Aku tahu! Hahaha."


Loveena tersenyum lebar setelah mendengar bahwa permintaan pertemanannya disetujui. Dia melepaskan salah satu tangannya dan dengan perlahan menarik tangan Nanda, memimpin mereka berjalan di depan untuk melanjutkan perjalanan pulang. Meskipun mereka berjalan di arah yang sama, namun perasaan mereka berbeda. Loveena melangkah dengan percaya diri dan penuh kegembiraan, sementara Nanda hanya bisa diam dan mengikuti langkahnya dengan kepala tertunduk.


Apakah sikap Nanda sama ketika dia berjalan pulang sendirian seperti tadi? Jawabannya adalah ya. Namun, kali ini kehampaan di hatinya mulai terisi dengan perasaan senang, karena dia baru saja mendapatkan seorang teman dan bahkan bisa pulang bersama. Itu adalah berkah kecil yang membangkitkan emosi dalam diri gadis yang selama ini tidak mengekspresikan perasaannya.


"Rumahmu di komplek depan sana, kan? Menyeberang sendirian itu menakutkan, jadi aku akan menemanimu sampai rumah!" ucap Loveena.


"Oh, terima kasih..." jawab Nanda.


"Sama-sama!"


Belum ada kata yang terucap di antara mereka sehingga selama perjalanan mereka tidak dapat berbicara tentang hal lain. Yang bisa mereka rasakan bersama hanyalah sensasi terik matahari menjelang siang, namun beruntung udara sekitar terasa cukup sejuk karena angin yang terus bertiup sejak tadi. Berkat udara yang menyejukkan itu, mereka mampu melewati perjalanan beberapa menit tanpa merasa lelah, dan akhirnya tiba di rumah masing-masing dengan selamat.


Sudah tiga minggu berlalu sejak itu, namun Loveena yang saat ini berada di kelas merasa bahwa pertemanannya dengan Nanda tidak pernah berkembang.


"Loveena... Hey Loveena, kamu tidak membawa bekal?" tanya seorang teman kepada Loveena.


"Ah, aku membawanya, kok, ta-da~!" jawab Loveena dengan terkejut, namun ia mencoba menutupi kejutannya dengan antusiasme, sambil menunjukkan bekalnya.


"Tapi maaf, ya, aku... aku akan makan nanti saja, kalian bisa pergi ke taman dulu!" ujar Loveena dengan halus untuk menolak ajakan beberapa temannya tadi.


Pikiran kosong Loveena kembali mengaitkan topik yang sedang dipikirkannya sebelumnya, yaitu tentang pertemanannya dengan Nanda yang belum mengalami perkembangan sama sekali. Di sekolah, mereka jarang berbicara satu sama lain. Nanda adalah tipe orang yang pendiam, sedangkan Loveena memiliki banyak teman yang mengajaknya bermain. Loveena sesekali mencoba mengajak Nanda untuk bergabung, namun selalu ditolak. Satu-satunya kesempatan mereka untuk berbicara adalah saat pulang bersama.


Namun itu pun tidak terjadi setiap hari, dan topik yang mereka bahas selalu berulang tentang tugas, guru yang mengajar hari itu, dan momen-momen di sekolah. Hari ini, Loveena akhirnya membulatkan tekadnya untuk mengambil inisiatif ketika melihat Nanda sedang duduk sendirian di mejanya. Sebelum teman-teman mereka datang, Loveena bangkit dari kursinya dan mendekati Nanda sambil membawa sesuatu.


"Hei, Nanda... Apa boleh aku makan bekal bersamamu?" tanya Loveena.


"Um, boleh..." jawab Nanda dengan suara kecil sambil merapikan tempat makanannya yang baru selesai digunakan.


Loveena mendekati Nanda yang saat itu sedang makan bekal sendirian di mejanya. Ia juga menarik kursi kosong dari samping agar bisa duduk dan makan bersama secara dekat di satu meja yang sama. Ketika makanan mereka disandingkan, terlihat perbedaan yang mencolok. Loveena memiliki bekal dengan lauk yang seimbang, terdiri dari sayuran dan daging yang ditata dengan rapi, sementara Nanda hanya memiliki beberapa potong nugget dalam bekalnya.


Makanan beku untuk anak sekolah? Mungkin itu tidak salah, tetapi terlihat berbeda jika dibandingkan dengan makanan yang disiapkan dengan cinta oleh orang tua. Meskipun terdapat perbedaan itu, keduanya memiliki satu pemikiran yang sama, yaitu menikmati bekal mereka dalam keheningan tanpa berbicara.


"Hei, Nanda," kata Loveena memecah keheningan di antara mereka.


"Apa...?" jawab Nanda dengan suara kecil sambil merapikan tempat makanannya.


"Aku, umm, merasa sedih juga, lho..." ujar Loveena terbata-bata, bingung memilih kata yang tepat.


"Sedih kenapa?"


"Itu... minggu lalu... Ketika kamu dipanggil oleh ibu guru dan ada pengumuman yang itu," jelas Loveena dengan terbata-bata dan kebingungan.


"Ah, itu..." Nanda mengucapkan dengan nada membingungkan.


Minggu lalu, sesuatu terjadi yang membuat Nanda terlihat begitu murung. Ia dipanggil oleh wali kelasnya dan dibawa ke ruang guru, di mana ia menerima berita yang sangat mengejutkan tentang kematian ibu tercintanya. Saat itu, Nanda dipulangkan oleh seorang guru lain tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun. Selama tiga hari berikutnya, ia absen dari sekolah dan berita tentang kematian ibunya mulai menyebar. Reaksi sedih dari teman-teman sekelasnya hanya bersifat sementara, seperti halnya reaksi anak-anak SD pada umumnya. Namun, ada yang tetap ingat dengan berita itu, yaitu Nanda sendiri dan juga teman barunya, Loveena.


"Maaf aku baru mengatakannya sekarang, tapi alasan aku mendekatimu adalah karena aku pikir kamu masih sedih. Aku penasaran dan mencoba menghiburmu... Dan, tentu saja, aku juga berpikir untuk berteman denganmu setelahnya, karena aku merasa kita mirip," ujar Loveena.


"Kita... Mirip?" tanya Nanda dengan kebingungan.


"Iya. Beberapa waktu lalu, aku tidak ingin masuk SD karena nenekku meninggal beberapa hari sebelumnya..."


"Eh?" Nanda terkejut mendengarnya.


"Kamu tahu, kadang-kadang orang tuaku harus pergi bekerja jauh, jadi aku selalu diurus oleh kakek dan nenekku. Saat itu, aku juga menangis terus, tapi tangisanku berhenti begitu ibuku berhenti bekerja dan memilih untuk tinggal di rumah bersamaku!" lanjut Loveena.


Nanda mendengarkan setiap kata yang diucapkan Loveena dengan perasaan campur aduk. Tentu saja, ia senang mendengar bahwa temannya yang "mirip" itu mau berbagi cerita tentang dirinya dan dengan jujur mengungkapkan niatnya untuk berteman. Hal itu membuatnya lebih memahami Loveena dan merasa lebih terbuka, serta timbul keinginan untuk berteman dengannya. Namun, Nanda masih sedikit bingung dengan apa yang dimaksud Loveena dengan "mirip". Bukan arti sebenarnya dari kata tersebut, melainkan Nanda sama sekali tidak merasa adanya kemiripan antara mereka berdua.


Bagian 2: Apakah Kita Ini Mirip?


Di sini aku berada, di ruang kelas 12 IPS 3 bersama murid-murid lainnya. Aku duduk di kursi pojok belakang, dengan tembok di sebelah kiriku yang biasanya aku gunakan untuk bersandar. Di sebelahku ada seorang siswi lain, dan di depan sana ada seorang guru yang sedang berbicara untuk menjelaskan materi pelajaran hari ini. Meskipun terdapat 39 murid di kelas ini, suasana cukup sepi.


Ya, hal itu wajar saja karena guru sedang berbicara. Ruangan kelas ini terasa dingin karena AC-nya, tetapi juga sedikit panas akibat sinar matahari yang masuk melalui jendela dan menembus gorden yang menutupinya. Suasana yang cocok untuk duduk diam dan mendengarkan.


“Sudah bisa diam?” tanya guru di depan kelas.


“Sudah, Pak,” jawab kami serentak.


Omong-omong, guru yang sedang menjelaskan di depan adalah Pak Ahmad, guru Bahasa Indonesia kami. Di awal tahun ketiga ini, beliau hendak membagi kami ke dalam 6 kelompok, dengan masing-masing kelompok beranggotakan 6-7 orang. Untuk menentukan anggota kelompoknya, Pak Ahmad memanggil nama-nama kami satu persatu dan menempatkan kami ke dalam kelompok secara acak. Aku menunggu giliranku sambil melamun dan melihat sahabatku yang duduk agak jauh di depan. Tiba-tiba, dia menoleh ke belakang secara tidak sengaja, dan mata kami bertemu. Dia tersenyum padaku, dan aku membalas senyumannya sambil melambaikan tangan kecil. Aku tidak tahu mengapa dia menoleh ke belakang.


“Loveena masuk kelompok tiga,” kata Pak Ahmad. Dan setelah beberapa nama lainnya disebutkan, giliran ku tiba, “Nanda masuk kelompok tiga.”


Sungguh kebetulan bisa sekelompok dengan sahabatku.


Berbicara tentang sahabat, aku akhirnya mendapatkan bahan untuk melamun. Sambil berjalan mendekati tempat berkumpul kelompok tiga, aku memikirkan arti dari persahabatan. Sahabat secara umum adalah seseorang yang memiliki keakraban lebih daripada teman, biasanya keakraban tersebut bertambah dengan menghabiskan banyak waktu bersama. Sahabat juga adalah orang yang bisa dipercaya, saling mendukung, dan mungkin masih banyak lagi. Aku tidak tahu bagaimana arti sahabat menurut orang lain, tapi menurutku arti sahabat memang seperti itu. Aku dan Loveena adalah contoh dari arti persahabatan yang tadi aku sebutkan.


“Nanda…”


“Hm?” jawabku saat Loveena memanggil dengan suara pelan.


Setelah semua murid dimasukkan ke dalam kelompok, kami disuruh menentukan tempat untuk duduk dan berdiskusi. Kami, kelompok tujuh yang terdiri dari diriku sendiri, Loveena, Darma, Fari, Azis, dan Kayla, memilih untuk berkumpul di bagian belakang barisan kursi kedua. Kelompok kami, kelompok 3, ditugaskan untuk membahas bab 3 yang membicarakan tentang teks editorial. Namun, sebelum langsung membahas materi, kami memutuskan untuk berbincang-bincang ringan terlebih dahulu.


“Eh, Loven, Nanda, katanya kalian selalu sekelas sejak SD, ya?” ucap Kayla memulai percakapan.


"Iya," aku dan Loveena menjawab serempak.


"Waktu di SD, tidak ada pergantian kelas, jadi kami beruntung bisa sekelas di SMP dan SMA meskipun setiap tahun ada sistem acak penempatan kelas," jelasku lebih lanjut.


"Seriusan?" tanya Darma penasaran.


"Benar."


"Eh... Kok bisa?" tanya Kayla masih tidak percaya.


Saat itu aku terdiam, mengingat kembali saat di kelas 4, Loveena adalah orang pertama yang memanggilku dan bahkan mengajakku berteman. Aku benar-benar tidak bisa mempercayainya pada saat itu, terlebih lagi ketika dia mulai membuka diri dan berbicara tentang masa lalunya. Karena kebaikan hati dan keinginannya yang tulus untuk berteman denganku, aku bisa berubah menjadi seperti sekarang ini. Dia adalah sahabatku yang mampu membuat hatiku merasa hidup.


"Seperti takdir..."


"Takdir," katamu? Haha, terlalu berlebihan," balas Loveena mengomentari pernyataanku tentang takdir.


"Mengapa terlalu berlebihan? Bukankah jelas bahwa kita mirip?" tanyaku.


Brak!


Tiba-tiba terdengar suara keras, dan semua orang di kelas terkejut dan menoleh ke arah sumber suara itu, yaitu aku. Tanpa sadar, aku menghentakkan meja dengan keras menggunakan satu tangan setelah mendengar Loveena mengatakan kata itu lagi. Sejak awal, aku tidak mengerti apa maksudnya terus-menerus mengatakan bahwa dia dan aku mirip. Aku tidak bisa menahannya lagi. Dengan begitu, aku meminta maaf dan izin kepada Pak Ahmad untuk pergi ke toilet. Sejenak sebelum keluar dari kelas, aku melihat wajah terkejut dan cemas di wajah Loveena. Aku sama sekali tidak mengerti apa maksudnya. Setelah itu, aku tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh orang-orang di kelas, terutama di kelompok 3.


"Huft..."


Di dalam salah satu bilik toilet perempuan, aku berdiri menghadap ke atas dengan mata tertutup oleh satu tangan dan bersandar pada sebuah pintu. Mengapa aku melakukan hal itu? Aku tidak tahu dan masih sering bertanya-tanya tentang hal itu. Tetapi, jika seseorang bertanya mengapa aku marah, aku bisa menjawabnya. Aku marah karena sejak dulu Loveena selalu mengatakan bahwa kita mirip. Tapi sebenarnya, tidak ada kemiripan sedikit pun antara aku dan Loveena.


Bahkan, apakah dia pernah mengalami hal-hal yang sama dengan yang kualami? Aku yakin dalam keluarganya yang harmonis, dia tidak pernah disalahkan atas takdir atau apa pun yang terjadi. Aku ingat ketika ayahku, satu-satunya keluarga yang aku miliki, pernah menyalahkan takdir kematian ibu padaku. Apakah Loveena pernah mengalami hal serupa? Tidak mungkin, karena dia hidup dalam keharmonisan. Itulah mengapa aku mulai tidak suka dengan kata "mirip" yang terus keluar dari mulutnya.


"Takdir... Aku mulai tidak menyukai kata itu setelah Loveena mengatakannya dengan begitu yakin," gumamku.


Aku tidak tahu berapa lama aku berdiri di sana, tenggelam dalam kisah masa lalu dan persahabatan yang menyakitkan. Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali ke kelas dan melanjutkan diskusi dengan kelompok 3. Waktu berjalan normal seolah-olah tidak ada yang terjadi ketika aku bergabung kembali dengan kelompok. Kami melanjutkan diskusi hingga akhirnya bel pulang sekolah berbunyi, dan hari berubah menjadi sore.


Bagian 3: Lima Menit yang Tidak Mengubah Apa-apa


Pada awal bulan Juli 2023, sudah hampir setahun sejak aku berada di kelas 12. Saat ini, berbagai momen perpisahan mulai bermunculan karena kami akan segera lulus dari SMA, menyelesaikan 12 tahun kewajiban belajar. Tidak banyak kegiatan atau aktivitas yang dapat saya lakukan untuk mengisi liburan ini setelah lulus. Namun, hari ini, kelompok 3 kami memiliki rencana berbeda untuk mengisi liburan.


"Kelompok 3, ya... Terdengar sangat nostalgik," kataku kepada diriku sendiri.


"Iya, karena ini adalah kelompok dari mata pelajaran Bahasa Indonesia di awal kelas 12," Loveena menjawab.


Tidak mengherankan Loveena merespons perkataanku, karena faktanya dia berada tepat di sampingku. Saat ini, kami berdua sedang menunggu anggota lain dari kelompok 3 untuk datang ke titik kumpul yang telah kita sepakati. Setelah beberapa menit menunggu di bawah sinar matahari yang mulai menyengat, mataku akhirnya menangkap sosok Darma, Fari, Azis, dan Kayla yang mendekat. Tidak lupa, ada juga Adji, seorang murid baru yang bergabung beberapa minggu setelah awal kelas 12, tapi dia dengan mudah diterima berkat kemampuan adaptasinya yang tinggi. Aku menghormati orang seperti itu, bahkan aku sekarang adalah hasil meniru kepribadian Loveena yang dulu.


"Oy... Maaf agak telat, kami menunggu Azis lama karena dia bermain futsal dulu dengan teman-temannya," kata Kayla dengan sedikit canda.


Aku tahu bahwa Azis sangat suka bermain sepak bola. Hal ini terbukti dengan fakta bahwa dia bergabung dengan klub futsal dan setiap kali ada pelajaran olahraga atau momen waktu luang, dia selalu bermain sepak bola dengan yang lain di lapangan. Bahkan ketika kami diminta untuk menulis karir impian masa depan, dia menuliskan bahwa dia ingin menjadi atlet sepak bola. Saya kira cita-cita luar biasa ini akan tercapai karena dia pernah menjadi juara dalam turnamen futsal tingkat nasional yang membuat nama SMA kami, SMAN 34, terkenal. Saya juga mengagumi seseorang yang memiliki passion dan tujuan hidup yang jelas seperti itu.


"Oke, semua orang sudah berkumpul. Mari kita langsung pergi ke stasiun!" kataku dengan semangat.


"Oke!" Loveena menjawab sekali lagi.


Semua orang telah berkumpul, sekarang saatnya kami pergi ke tujuan kami, yaitu spot terjun payung komersial yang terletak di Bandara Pondok Cabe, Tangerang Selatan. Ini adalah kegiatan yang tidak biasa untuk mengisi liburan kami setelah lulus, tapi rasanya cukup unik untuk mengubah suasana. Kami memilih untuk melakukan terjun payung karena beberapa hari yang lalu, saat kami sedang berkumpul biasa, Kayla tiba-tiba menyarankannya karena katanya ada spot terjun payung yang baru saja dibuka. Dia berbicara dengan sangat percaya diri, mengatakan bahwa ini adalah hal yang seru. Dengan aura periang dan nada bicara yang meyakinkan, akhirnya kami menyepakatinya.


“Uuhh, Tangerang emang panas banget, ya,” keluh Darma.


“Iya, sih, banyak pabrik soalnya,” sahut Azis.


“Mau minum, Dar?” tanya Adji sambil mengangkat botol minum besarnya.


“Nggak, nggak usah. Nanti aja.”


Seperti itulah Darma, dia tipe anak yang pendiam tapi tidak juga, karena sering beberapa kali dirinya menyampaikan sesuatu secara jujur untuk memecah keheningan. Aku tidak terlalu dekat dengannya, tapi dia memang anak yang rajin dan baik. Omong-omong, saat ini kami sedang menginjakkan kaki di lapangan luas, hijau, dan datar di dalam bandara. Setelah beberapa menit sampai tadi, kami diarahkan untuk berkumpul oleh satu orang pria dan perempuan untuk diberikan arahan terlebih dahulu. Karena apa yang hendak kami lakukan adalah hal yang cukup ekstrim, maka wajar saja diperlukan pengarahan ekstra.


“Selamat datang di halaman penerjun Bandara Pondok Cabe! Kami dari komunitas resmi bersertifikat penerjun payung Skydiving Experience bekerja sama dengan salah satu anak perusahaan dari BUMN Pertamina, yaitu Pelita Air Service di bandara milik militer dan publik ini untuk membuka tempat terjun payung umum bagi masyarakat yang ingin mencobanya,” kata sambutan oleh pria tersebut.


“Seperti yang aku katakan tadi, di hari yang cerah ini kami akan menunjukkan kepada kalian betapa serunya olahraga ini sampai bisa mengubah hidup kalian! Ah, agar lebih akrab, biarkan aku memperkenalkan diri. Aku salah satu instruktur di sini, Mazen! Tapi aku lebih suka dipanggil Abang daripada Mas, jadi jangan sungkan memanggilku begitu, hahaha!” lanjut pria tersebut.


Oke, walaupun sedikit nyentrik dan terlalu bersemangat, tapi aku cukup suka dengan sikap periang ‘Abang’ Mazen dalam menyambut pengunjung. Dengan tubuh yang tinggi dan berotot, dia mengatakan bahwa olahraga ini bisa merubah hidup. Entahlah, dia memang cukup meyakinkan, tapi aku penasaran apakah benar seperti itu? Dari yang kudengar, olahraga ini memang ekstrim tapi hanya berlangsung tidak sampai 10 menit. Apakah benar bisa mengubah hidup seseorang hanya dengan itu? Aku cukup tertarik dan mungkin akan mengulasnya nanti.


“Aku juga salah satu instruktur di sini, panggil saja Fia,” perkenalan singkat dari instruktur perempuan bernama Fia.


"Oke!" menepuk tangan, "tidak ada banyak yang bisa dijelaskan tentang terjun payung kecuali kita mencobanya langsung, apakah kalian sudah siap?!"


"Siap!" jawab kami serentak, terpengaruh oleh semangat Abang Mazen.


"Tapi sebelum itu, ada yang mau ditanyakan?" tanya Abang Mazen.


"Abang!" ucap Fari sambil mengangkat tangannya.


"Ya, yang di sana, pertanyaannya?"


"Saya hanya ingin tahu bagaimana nanti jika parasutnya tidak mau terbuka?" tanya Fari yang sejak tadi diam.


"Untuk itu, sekarang mari kita lakukan sedikit pelatihan," ujar instruktur Fia.


Seperti itulah sikap salah satu temanku, Fari. Dia terlihat diam dan tenang, namun ternyata dia memikirkan banyak hal dan kadang-kadang menunjukkan kekhawatirannya pada lingkungan atau teman-temannya. Menjawab pertanyaan Fari tadi, instruktur Fia mengajak kami ke tempat pelatihan yang berada di salah satu hanggar pesawat di bandara ini. Instruktur Fia menjelaskan bahwa setiap orang yang melakukan olahraga terjun payung memiliki dua buah parasut, yaitu parasut utama dan parasut cadangan. Jika parasut utama tidak mau terbuka di ketinggian yang seharusnya, maka parasut cadangan akan langsung terbuka setelah terpicu oleh sensor. Dan menurut penjelasannya tadi, terjun payung komersial ini bekerja sama dengan angkatan militer TNI AU, sehingga keselamatan kami sudah terjamin.


"Oke, sudah siap semuanya. Sekarang perkenalkan pesawat kecil kami, Penguin Boy! Dia yang akan membawa kalian terbang hingga ketinggian 13.500 kaki atau sekitar 4.100 meter!" jelas Abang Mazen.


Penguin Boy, begitulah katanya.


Sejujurnya, menurutku, itu adalah nama yang kurang tepat untuk sebuah pesawat. Tidak tahukah dia bahwa penguin adalah burung yang tidak bisa terbang? Lalu bagaimana kami nanti bisa mencapai awan? Tapi itu bukanlah hal terpenting saat ini. Yang penting, Penguin Boy ini cukup besar karena akan mengangkut sekitar 16 orang, termasuk kami yang berpasangan dengan masing-masing satu instruktur, dan ada dua orang pilot di bagian kemudi.


Kami telah mendapatkan cukup pengetahuan dari pelatihan yang berlangsung setengah jam tadi. Kini saatnya kami benar-benar melakukannya, olahraga ekstrim terjun payung. Aku merasakan detak jantungku berpacu saat beberapa menit setelah pesawat kami lepas landas, Abang Mazen melanjutkan dengan penuh semangat:


"Oke, perhatian, kita sudah mencapai ketinggian 4.000 meter. Dalam beberapa detik lagi, ketika mencapai ketinggian 4.100 meter, kita akan langsung terjun. Setelah terjun, akan ada momen free fall selama 50 detik di mana kita belum membuka parasut, jadi perhatikan dan nikmati! Teriakannya?!" seru Abang Mazen dengan antusias.


Kami semua menyambut seruan Abang Mazen dengan teriakan penuh semangat. Hati kami berdebar-debar, campur aduk antara kegembiraan dan kecemasan. Kami telah menunggu momen ini dengan penuh antisipasi dan sekarang saatnya untuk melompat ke dalam petualangan yang tak terlupakan.


Tiba-tiba, lampu indikator di pesawat berubah menjadi hijau, menandakan bahwa kami telah mencapai ketinggian yang diinginkan. Adrenalin meluap dalam diri kami. Instruktur-instruktur kami memberikan instruksi terakhir, memastikan kami mengerti apa yang harus dilakukan saat terjun nanti. Kami merasakan dorongan dari dalam diri kami untuk melampaui batas dan merasakan kebebasan di udara.


Dalam sekejap, kami semua berdiri di pintu pesawat yang terbuka. Angin bertiup kencang dan panorama indah di bawah kami terbentang luas. Hatiku berdesir ketika giliran kami tiba. Dengan hati yang berani dan keberanian yang membara, satu per satu kami melompat ke dalam hampa udara.


Sensasi free fall begitu kuat dan memukau. Tubuhku terasa terbawa oleh angin dengan kecepatan tinggi, dan rasanya seakan waktu berhenti sejenak. Aku terlena oleh kebebasan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Langit biru, awan putih, dan pemandangan darat yang terhampar di bawahku memberikan pengalaman yang begitu mengagumkan.


“Wuohhh!” teriak kami bersama dengan para instruktur.


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kami benar-benar melompat dari pesawat dan tidak membuka parasut selama sekitar satu menit. Momen tersebut sangat menakutkan, karena tubuh kami berhadapan dengan angin yang kuat yang mendorong ke atas. Namun, momen itu juga memicu adrenalin dan hormon dopamin dalam diriku. Seperti yang telah diungkapkan, olahraga ekstrim ini memang berlangsung singkat, hanya sekitar 5 menit saja semua kegembiraan itu terjadi.


Seperti yang telah kusebutkan sebelumnya, aku akan memberikan ulasan lebih lanjut: terjun payung hanya merupakan olahraga ekstrim selama 5 menit, dan 5 menit tersebut tidak mampu mengubah hidup seseorang. Tidak mungkin hanya dengan melakukannya, hidupku akan berubah secara signifikan, baik itu menjadi lebih baik atau lebih buruk. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa 5 menit tersebut sebenarnya tidak mengubah apa pun.


Bagian 4: Lima Menit yang Mengubah Segalanya


Beberapa hari setelah aktivitas terjun payung kami, aku berada di sekolah bersama yang lainnya, menunggu giliran kami dipanggil untuk menerima ijazah SMA. Liburan berlalu begitu cepat, dan sekarang sudah akhir bulan Juli 2023. Selama beberapa hari terakhir, kami harus menghabiskan waktu liburan dengan melakukan persiapan kelulusan, termasuk pengambilan ijazah.


"Nanda... Apakah kamu serius tidak mengikuti ujian untuk masuk perguruan tinggi?" tanya Loveena penuh kekhawatiran.


"Ya, benar. Sejak awal aku tidak tertarik untuk melanjutkan studi lebih lanjut. Kamu tahu kan itu hanya opsional?" jawabku.


"Tapi kenapa...?"


"Kenapa apa? Lagipula, mengapa aku harus melanjutkan belajar jika aku sudah menyelesaikan wajib belajar selama 12 tahun?"


"Tapi ini untuk masa depan..."


"Ya, masa depan yang cerah seperti yang kamu dan yang lainnya miliki, bukan untukku yang masa depannya suram. Kamu tahu itu, kan, Loveen?" jelasiku sambil memegang pundak Loveena dengan mata yang tidak mampu menahan kelelahan.


Memang, perguruan tinggi hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki masa depan cerah. Bagi orang sepertiku yang dianggap tidak memiliki masa depan secerah mereka, tidak mungkin mendapatkan tempat di perguruan tinggi negeri. Aku mengungkapkannya secara emosional karena memang itulah kenyataannya. Tidak seperti mereka yang memiliki nilai yang bagus, nilai-nilai ku jauh berbeda. Setiap kali ada tugas atau ujian, nilai yang kudapatkan selalu di bawah standar. Aku sudah lelah dengan hal ini dan akhirnya memutuskan untuk berhenti melanjutkan pendidikan.


"Nanda... Lalu bagaimana dengan janji kita dulu?"


"Janji apa?" tanyaku bingung.


"Eh?" Loveena terkejut mendengar pertanyaan jujurku.


"Janji apa itu? Maaf, aku lupa."


"Dulu... kita pernah berjanji untuk selalu menjadi teman sekelas bahkan setelah dewasa. Itu berarti sampai kuliah, kan?" jelas Loveena dengan sedih.


"Bukankah kita sudah dewasa di SMA ini? Tidak bisakah kamu menganggapnya sebagai akhir dari janji tersebut?" jawabku dengan nada dingin.


"Tidak! Bukan seperti itu, kita berjanji... Sampai dewasa berarti sampai kuliah, kan? Aku bahkan mengorbankan waktu bermain dengan teman-teman hanya untuk fokus belajar..."


"Tidak ada yang memintamu untuk melakukannya," balasku terkejut.


"Ya, memang. Tapi aku melakukannya untuk menirumu!"


Loveena mulai menangis. Dia menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Aku tidak mengerti apa yang membuatnya begitu sedih hanya karena janji kecil seperti itu. Pertama-tama, aku tidak mengerti mengapa dia terlalu terikat denganku sampai-sampai dia merubah kepribadiannya. Aku mencoba mencari penyebabnya, tetapi tidak menemukan satu pun. Sejak awal persahabatan kami, aku tidak pernah melakukan sesuatu yang istimewa baginya.


"Maaf, Loveen, meskipun kamu menangis, aku tetap tidak ingin melanjutkan kuliah," ucapku sambil berbalik menjauh darinya dan mencoba pergi.


"Apa yang membuatmu begitu tidak berminat untuk kuliah?" tanya Loveena, menghentikan langkahku.


"Sama seperti yang sudah kukatakan, nilai-nilai ku tidak pernah sebaik milikmu. Seperti takdir yang memang sudah ditentukan. Kamu percaya pada takdir, kan?" 


"Tapi, takdir seperti itu bisa diubah jika kamu mau belajar dengan tekun!"


Plak!


Dengan kasar, aku melepaskan tangan Loveena yang memegang bajuku. Inilah sifatnya yang sangat aku tidak sukai. Aku sudah menjawab dengan cara yang halus, bahkan menggunakan kata 'takdir' yang menjadi favoritnya. Tetapi bagaimana dia membalasnya? Dia seolah-olah mengatakan bahwa aku tidak pernah belajar dengan tekun sebelumnya. Untuk selalu berada di sisinya sebagai sahabat, aku selalu belajar dengan tekun. Kami selalu bersama, tetapi dia tidak menyadarinya. Dan sekarang dia percaya bahwa takdir bisa diubah. Lalu bagaimana dengan takdir kita yang selalu berada di kelas yang sama? Atau bagaimana dengan takdirku yang selalu tidak beruntung ini?


"Maaf, Loveen, aku tidak bermaksud kasar," kataku.


"Tidak, tidak apa-apa," jawab Loveena.


"Dari awal, Loveena, aku ingin tahu apa yang membuatmu begitu perhatian dan peduli padaku. Apakah aku melakukan sesuatu yang istimewa bagimu?" tanyaku kepada Loveena yang masih terlihat terkejut.


Memberanikan diri, akhirnya aku menanyakan ini kepada Loveena. Dia terlalu perhatian kepadaku, aku berani mengatakannya seperti itu. Alasan pertama adalah karena dia orang pertama yang mau berbicara dan berteman denganku. Setelah itu, aku merasa dia menjadi jauh lebih dekat lagi, seperti selalu memilih menghabiskan waktu bersamaku daripada teman-teman lainnya. Hingga akhirnya, sekarang dia bahkan meniru kepribadianku yang pendiam dulu.


"Aku sebenarnya berusaha merahasiakan ini dari kamu. Jadi–"


"Eh? Kamu seriusan mau jawab? Aku kira kamu marah..."


"Marah... Kenapa? Aku cuma mau menjawab pertanyaan kamu aja..."


"Duh, kamu beneran terlalu baik. Yaudah, kalo gitu jawabnya nanti aja, deh."


Aku tidak menyangka dia serius mau menjawab pertanyaanku. Aku sempat berpikir dia akan lebih memilih untuk diam dan pergi menjauh setelah apa yang aku lakukan tadi. Loveena sekarang memiliki raut pendiamnya seperti biasa, seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Jawaban yang hendak dikeluarkannya tadi pasti membuatku sangat penasaran, tapi kami harus menunda ini. Sejak sekitar 5 menit kami keluar kelas, akhirnya nomor urut absenku terdengar. Dari absenku hingga Loveena dan kegiatan ini sendiri tidak memakan waktu lama, tapi matahari sudah berada di atas kepala sekarang. Akhirnya, kami memutuskan pulang agar bisa makan siang, setelah itu baru melanjutkan pembicaraan.


"Nanda, kamu nggak pulang dulu?"


"Nggak, deh. Omong-omong, makasih selalu untuk masakannya, enak seperti biasa."


"Sama-sama! Ah, ini ada hubungannya dengan jawabanku."


"Hm? Apa maksudnya?" tanyaku sambil duduk di lantai dan menyandar pada kasur milik Loveena.


Benar, saat ini aku sedang berada di rumah Loveena, dan kami baru saja selesai makan siang. Rumah ini, kamar, dan masakannya sudah sangat terbiasa aku merasakannya. Ini bukan sesuatu yang seharusnya aku banggakan, tapi aku sering kali bermain dan makan di sini bersama keluarga Loveena. Dia yang pertama kali mengundangku dulu ketika kami masih SD, dan dia juga sangat senang setiap kali aku berkata ingin berkunjung ke rumahnya.


"Jadi, apanya yang berhubungan dengan jawabanmu?" tanyaku sambil melihat Loveena yang duduk di sampingku, bersandar juga.


"Alasan kamu tidak ingin pulang."


"Eh?"


"Alasan kamu tidak ingin pulang adalah karena ada ayahmu di sana, kan...?" tanya Loveena dengan suara pelan tapi terasa sekali dia sangat percaya. "Ma-maaf kalau aku salah," lanjutnya.


"Nggak, kamu benar, kok. Sekarang hari Minggu, jadi dia ada di rumah."


"Kalo gitu kamu boleh di sini lebih lama, kok! Mau menginap?"


"Aku mau, makasih. Tapi kenapa kamu bisa menjawab tepat seperti itu?"


"Jadi..."


Ternyata, bertanya dengan jujur kepada Loveena adalah tindakan yang benar. Alasan dia sangat baik kepadaku dan alasan kenapa aku tidak ingin berada di rumah ternyata memang berhubungan. Dari perkataannya, dia bilang ini semua dimulai ketika dulu kami masih SD. Loveena pernah berkunjung ke rumahku untuk mengajak berangkat sekolah bareng. Itu adalah rutinitas kami, tapi saat itu aku tidak datang ke titik biasa kami bertemu. Karena merasa bosan menungguku hampir 5 menit sendirian, akhirnya Loveena datang langsung ke rumahku. Di sana, secara kebetulan dia melihatku sedang dimarahi oleh ayah.


"Aku masih ingat semua perkataannya," ucap Loveena dengan wajah masam sambil menepuk pundak kananku.


Kini Loveena menjelaskan bagaimana dia merasa takut, terkejut, panik, dan menangis ketika menyaksikannya dulu. Dia hanya bisa terdiam dan menyaksikan, berusaha ingin menolong tetapi tidak bisa. Dia bahkan mengingat dengan jelas perkataan ayahku, salah satunya yang paling membuatku hancur. Itu adalah saat ayah berkata, 'kamu anak pembawa sial!' kepada diriku yang masih kecil, tersudut dalam ketakutan di lantai.


Sebenarnya, semenjak kepergian mama, ayah selalu mengatakan itu kepadaku ketika dia sedang kesal. Bahkan setelah beberapa minggu, dia selalu menyalahkanku atas kepergian mama. Mungkin itu wajar, karena setelah melahirkanku, mama menjadi lemah dan sering kali sakit bahkan tidak bisa bangun dari tempat tidur. Sejak saat itu hingga sekarang, perkataan ayah tadi masih terngiang di telingaku, membuatku berpikir bahwa mungkin ini takdir yang harus kumiliki.


"Tidak hanya pembawa sial bagi orang lain, tapi bahkan juga diriku sendiri, ya... Tidakkah Tuhan terlalu kejam?" keluhku sambil melihat ke atas.


"Ja-jangan berkata seperti itu, Nanda. Buktinya, aku dan yang lainnya tidak pernah terkena kesialan apapun!"


"Kamu merasa begitu? Makasih... Tapi mungkin semua kesialan itu hanya berlaku untukku saja. Lihatlah nilai-nilai yang sangat menyedihkan dan semua yang terjadi di masa lalu..."


"Nanda..."


Aku tidak berlebihan ketika mengatakan bahwa semua nasib sial sejak dulu hingga sekarang sudah sangat menumpuk dalam hidupku. Setelah semua yang terjadi, apakah ada hal baik yang pernah kuterima? Oleh karena itu, aku sudah lama menetapkan apa yang akan kulakukan di masa depan, yaitu meninggalkan semua yang kumiliki. Aku berencana meninggalkan rumah, teman-teman, bahkan Loveena serta kota tempat tinggalku sekarang. Aku ingin melawan takdir ini dengan mencoba merantau dan memulai lembaran hidup baru dengan semua uang tabungan yang kumiliki. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengatakannya kepada Loveena, jadi aku mengungkapkan semuanya.


"Nanda, kamu... kamu jangan mengatakan hal sembarangan!" respon Loveena. Dia berdiri dengan terkejut dan jelas-jelas menentang.


"Itu bukanlah perkataan sembarangan, aku sudah mempersiapkannya semua," ujarku dengan mantap.


"Ta-tapi kemana kamu akan pergi memangnya?!" seru Loveena, wajahnya penuh dengan kebingungan dan kepanikan.


Aku menghela nafas dan menjawab dengan mantap, "Entahlah, tapi aku akan berusaha sejauh mungkin dengan uang yang aku punya."


Loveena terdiam sejenak, matanya penuh dengan ketakutan. Lalu, dengan nada serius, dia berkata, "Nanda... Kalau begitu, bagaimana menurutmu jika aku juga ikut?"


Tiba-tiba, kebencian menyala dalam diriku. "Jangan pernah berpikir seperti itu! Kamu tidak punya urusan dengan ini. Tetaplah di sini dan jalani kehidupanmu seperti orang pada umumnya. Aku tidak akan mengizinkannya, meskipun kamu meminta dengan keras sekali pun."


Loveena terisak, mencoba menahan air mata yang ingin keluar. "Ka-kalau begitu, jangan pergi! Bagaimana dengan persahabatan kita!?"


Dengan kebencian masih menyelimuti hatiku, aku menjawab dengan dingin, "Huft, anggap saja persahabatan kita tidak akan hilang meski jarak memisahkan kita, begitu."


Adu mulut terjadi di antara kami. Kami saling mengkhawatirkan dan berusaha menghentikan satu sama lain. Namun, seperti yang kukatakan sebelumnya, aku tidak akan pernah berubah pikiran. Akhirnya, aku berhenti merespons Loveena dan berbaring di kasur lantai, tempat biasaku tidur ketika menginap di sana.


Masa-masa berlalu, sekitar dua bulan telah berlalu sejak saat itu. Hari ini adalah hari di mana mereka yang telah diterima di perguruan tinggi akan memulai kuliah. Aku memilih untuk pergi hari ini, membawa tubuh ini untuk memulai kehidupan baru di tempat baru yang belum aku tentukan.


"Nanda...! Hiks, apakah kamu sungguh-sungguh akan pergi?" ucap Kayla sambil memelukku dengan erat.


"Nanda, ke mana sebenarnya kamu akan pindah?" tanya Fari dengan keprihatinan yang khas.


"Pindah bukanlah kata yang tepat, aku hanya membawa diriku sendiri untuk memulai hidup baru di tempat yang belum aku ketahui," jawabku.


"Tapi bagaimana dengan ayahmu?" tanya Adji khawatir.


"Dia tidak melarangku, atau mungkin dia tidak mengatakan apa-apa," kataku sambil tertawa kecil.


"Tapi HP, WhatsApp, media sosial, semuanya tetap aktif, kan?" tanya Darma.


"Aktif seperti biasa," jawabku singkat.


Di bandara, aku dengan lengkap mengenakan dua koper besar. Teman-teman dari kelompok 3 memberiku sapaan dan bertanya-tanya. Azis tidak ada di sini karena kudengar dia telah berhasil meraih mimpinya dan sekarang tinggal di asrama pelatihan calon tim nasional Indonesia. Loveena memberitahu mereka tentang kepergianku, berharap salah satu dari mereka dapat menghentikanku.


Namun, aku sudah menetapkan pikiranku, dan tidak ada yang dapat mengubah keputusanku. Loveena hanya diam, matanya penuh dengan kepedihan, mencoba menahan air mata yang ingin meleleh. Aku tahu itu. Bekas tangis semalam belum sepenuhnya menghilang, terlihat dari kantung mata merahnya.


"Aku pergi sekarang," ucapku dengan rasa syukur dalam hati. Aku berjalan menjauh dari mereka, meninggalkan segala kenangan dan ikatan di belakang.


"Nanda, kamu benar-benar akan pergi?" suara Loveena terdengar rapuh.


"Sudah jelas, kan? Terima kasih atas segalanya, Loveen..." jawabku dengan suara lemah.


"Kamu yakin? Kamu memiliki keamanan, sahabat-sahabat yang baik di sini. Tidakkah kamu menganggap itu sebagai keberuntungan?"


"Aku menghargainya, tapi tetap saja tidak sebanding," ucapku tanpa menoleh.


"Nanda, aku yakin kita juga memiliki salah satu sama lain, jadi tolong... maafkan aku," Loveena terisak.


"Aku juga meminta maaf. Terima kasih telah menjadi teman dan sahabatku yang pertama... Hiks... Ah, aku berusaha keras menahan tangis ini," kataku sambil mencoba menahan air mata dengan satu tangan.


Dalam mata orang lain, keputusanku mungkin terlihat rapuh. Aku tidak berani menantang takdir, hanya berusaha kabur. Namun, itulah aku, tidak mampu berubah sekalipun bertahun-tahun telah berlalu. Satu-satunya jalan adalah memulai hidup baru, menapaki tanah yang asing. Dan seperti kata Loveena, aku harus menggulirkan kegigihan dalam belajar jika ingin meraih kesuksesan.


Kehidupanku selama ini terlihat biasa-biasa saja, meski di sisi lain, aku memiliki sahabat-sahabat yang erat. Seharusnya aku bersyukur dan menghargai apa yang telah aku miliki. Mungkin aku seharusnya lebih sabar dan melihat keberuntungan yang menyelimuti, daripada melarikan diri. Tidak semua bagian masa laluku adalah duri. Di sana, aku bertemu Loveena dan menemukan semangat untuk terus hidup. Setelah merenung lebih dalam, aku merasa seperti seorang bodoh. Tetapi, sekarang, aku penasaran, di mana perjalanan kehidupan baru ini akan membawaku?


Catatan!

-TAMAT-

Komentar